19.2.08

Babat Sekolah!

Andai ada mesin pencetak manusia multifungsi tanpa kenal usang, anda boleh sepakat dengan 7 abjad ini: SEKOLAH! Sekolah, seperti yang kita kenal ialah traktat penerabas fenomena involutif alam pikiran manusia. Berasal dari kata Latin skhole yang berarti ‘waktu senggang’, sekolah kini menjadi barang dengan probabilitas yang tak bisa ditawar lagi. Ia begitu dipuja. Dinikmati. Diagung-agungkan. Disembah, barangkali.

Tapi, dibalik kebanggaan kita dengan sekolah, ternyata banyak juga yang beranggapan bahwa sudah saatnya manusia terbebas dari sekolah. Kalau di sebelah anda sekarang ada Roem Topatimasang, pastilah dia akan tersenyum-senyum. Ya, lelaki itulah yang pernah menggegerkan jagat pendidikan Indonesia lewat sebuah pamflet Illichian-nya yang begitu syahdu menggelegar: Sekolah Itu Candu!. Roem membabat habis kesakralan identitas sekolah saat ini dalam bukunya tersebut. Baginya, sekolah sekarang tak hanya layak didedah, tapi juga patut diganyang.

Buku ini bermula dari seorang tokoh bernama Sukardal yang hidup ditahun 2222. Dia menemukan setumpuk berkas tua di Museum Bank Naskah Nasional yang termasuk “BACAAN TERLARANG-GOLONGAN A (SANGAT BERBAHAYA)”, berjudul: Sekolah. Judul yang bagi Sukardal kala itu terdengar asing dan samar-samar. Merasa tertantang, Sukardal pun membaca helai per helai naskah tersebut. Dan Sukardal pun membaca...

Dalam “pembacaan” Sukardal tadi, ditambah dengan esai-esai yang memikat, Roem mengajak kita untuk menjelajahi sekolah-sekolah yang memiliki kurikulum yang bebas dari patron baku sekolah-sekolah yang ada. Metode pengajaran yang nyeleneh. Kasus-kasus pendidikan yang memerlukan keadilan, hingga kebobrokan sistem pendidikan yang telah mapan.

Sebutlah Universitas Rockfeller di New York, Amerika Serikat. Di universitas ini jangan harap anda akan menemukan daftar mata pelajaran baku, jadwal jam belajar resmi, kelas-kelas yag dibagi-bagi per tingkat atau per jurusan, ujian kolektif. Semua kebakuan tersebut dijungkirbalikkan dengan: kebebasan mahasiswa dalam memilih dan menetapkan sendiri apa yang mau mereka pelajari dan bagaimana cara yang paling sesuai untuk mempelajarinya! Tapi, jangan dulu anggap bahwa universitas ini universitas sembarangan. Kalau anda pernah mengenal nama-nama seperti David Baltimore, Gerald Edelmann, Theodosius Dobzhansky dan beberapa penemu hebat lainnya, dari sinilah kesohoran mereka lahir. Sayangnya, universitas ‘unik’ ini tertelan dibalik universitas-universitas tersohor di Amerika Serikat, seperti, Cambridge, Harvard, Stanford, MIT, dll.

Roem juga menyadarkan kita dari kebodohan kaum urban dengan menggambarkan suasana di Mantigola, Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara dari segi pendidikan. Disana, bukan murid-murid yang menikmati sarana antar-jemput, tetapi guru-guru mereka! Hebatnya lagi, sarana antar-jemput tersebut bukan sekolah yang menyediakan, tapi murid-muridnya! Keaslian kultur di perkampungan Orang Bajo tersebut disebut Roem sebagai, “hal ‘ajaib’ yang sangat jamak terjadi di negeri yang juga ‘ajaib’.” Dengan menghadirkan kultur tersebut sebagai bagian dalam buku yang tertuju bagi masyarakat urban, Roem sungguhlah sedang mengepal kekuatan subversif dan mengangkat pedang resistensi terhadap pola pendidikan sekarang. Perkotaan khususnya.

Tapi, jangan keburu cepat menilai bahwa Roem ialah seorang anarkis pendidikan yang hanya menawarkan antiserum ekstrim lewat revolusi. Coba tengok bab 9 yang berjudul Involusi Sekolah. Dalam bab tersebut Roem coba memadu-padankan kegeraman terhadap sistem pendidikan yang telah mapan dengan rasio mimikri yang sehat dan intelek. Jika kita menilik kalimat per kalimat, Roem memang terlihat sengaja mengumbar kata-kata yang menohok para petinggi pendidikan Indonesia. Pun dengan sindiran-sindiran yang ditulisnya. ‘Keengganan ideologis’, ‘kebanggaan semu budaya’, atau ‘kemalasan intelektual’ adalah sebagian kalimat yang dibaurkan Roem lewat persinggungan presisi, guna meninju pikiran pembaca agar lekas ‘tersadar’ dari kesalahan sistem yang ada.

Pada bab 11 yang bejudul Sekolah Itu Candu! disinilah saya kira Roem menghadirkan sindiran yang begitu telak terhadap sistem pendidikan kita. Bab ini menceritakan bagaimana bayangan Roem tentang opini orang-orang yang tahu kasus pemecatan Eko Sulistyo, seorang siswa SMA di Yogyakarta. Dia dipecat dari sekolah karena mengumumkan hasil penelitian yang diprakarsai dan dilaksanakannya sendiri tentang pandangan kaum remaja seusianya mengenai kehidupan seksual. Alasan pemecataannya yang dinilai tidak objektif dan terkesan mengada-ngada: penelitian yang dilakukan Eko tidak mendapat izin resmi dari sekolah dan pejabat setempat. Atas hal itulah Roem menutup bab ini dengan mahakata yang begitu Marxis: Sekolah Itu Candu!, karena sekolah dengan kebenaran tak terbatas berhak memvonis salah-tidaknya seseorang.

Puncak kekecewaan Roem terhadap sekolah ditutup dengan epilog: Sekolah Masa Depan. Ini akhir episode dari Sukardal yang telah selesai membaca naskah terlarang tadi. Karena terheran-heran (sekaligus terpengaruh) dengan naskah tadi, Sukardal lantas menghubungi para kerabat-kerabatnya yang terdiri dari tetangga terdekat dan juga seorang profesor untuk menghadiri pertemuan yang diselenggarakannya di Balai Pertemuan RT. Disana Sukardal yang menjadi guru. Mengajari orang-orang yang hadir tentang bagaimana mendapatkan buah labu jenis baru dengan kualitas yang jauh lebih baik. Sang profesor tampak paling bersemangat, sedang Sukardal terus berkelakar. Hingga pada akhirnya kita semua diajak untuk sadar oleh Roem bahwa: Sukardal hanyalah seorang petani!

Kalau Foucault bilang pengetahuan itu mempunyai kekuasaan, maka jelaslah sudah apa yang sebenarnya kita butuhkan dari hegemoni pengetahuan yang menindas: Makar! Dan buku ini layak ditempatkan di posisi teratas. Apalagi yang harus anda pikirkan? Iqra!

For A Fighting The Truth, There's No Journeys End!

Metanoia Seorang Wartawan; Kemarahan, kesedihan..

Tatkala cuaca sedang bersedu-sedan, aku berkaca..

“Duh Gusti Aloh.. Yang wajah-MU terpahat setiap saat.. Mengapa nasib tak beranjak…? Kalbu-MU tak berpijak.. Sangsai-MU enggan tersibak.. Ridho-MU pudar tersingkap.. Mengapa Gusti Aloh?? Doa ku sudah berbaur dengan bulir-bulir air mengalir.. Serintih buih-buih pedih.. Sekepal batu-batu terjal.. Sejumput riwayat penuh kemelut.. Tapi Gusti Aloh.. Duhh.. Apa iya harus ku murtad?”

Aku pun bersembah-sujud.. Menciumi wangi tanah yang dulu tertimbun darah..

Dan lagi-lagi: Aku hanya bisa meratapi..

“Duhai kosmik tanpa wajah.. Semesta tanpa raut.. Penjelaga tanpa batas.. Adilkah ini kata-Mu? Memadu rindu dengan agama-MU.. Yang diruntut kaum-MU bagai kode buntut.. Bagai metanoia tak berujung.. Bagai gelegar petaka..

Bagai..

Bagai..

Bagai.. Syahwat binal tak bertepal..”

Aku bangun.. Merintih menangis.. Miris.. Sungguh miris..

“Gusti Aloh.. Aku mencari ajalku, sebagaimana ajal-MU datang menjemput tanpa sambut kawan-kawanku.. Sebagaimana ketidakadilan-MU datang menindih doa kawan-kawanku.. Sebagaimana kejam-MU mencabik senyum kawan-kawanku.. Gusti Aloh.. Ya Gusti Aloh.. Ijinkanlah aku meminta ajalku.. Mendatangi-MU biar kita mabuk bercinta.. Menyatu menderu.. “

Aku memandang sekeliling, kutatap pedih tak bergeming..

Ternyata kawanku datang dan menyeru kemana keadilan.. “Aku mati oleh rezim Tuhan..”

TERSIRAT UNTUK PARA WARTAWAN YANG PERNAH MATI DICEKIK OLEH TAKDIR YANG ENGGAN BERPIHAK..

**************************************************************