tag:blogger.com,1999:blog-86540114646518269182023-11-15T09:47:00.373-08:00DentumHidup hanya menunda kekalahan. Dan tahu, bahwa ada yang tetap tidak terucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah.MANUSIA PNEUMOTOFOShttp://www.blogger.com/profile/11382854418126998614noreply@blogger.comBlogger10125truetag:blogger.com,1999:blog-8654011464651826918.post-38186089035013814222008-05-17T22:35:00.000-07:002008-05-17T22:46:30.382-07:00Puncak Lupa Diri, Bernafas Karena Tirani<div style="text-align: left;"><span style=";font-family:arial;font-size:100%;" ><span style="font-size:180%;"><strong><span style="color: rgb(255, 102, 102);"></span></strong></span></span><span style="font-size:100%;">Revolusi bukanlah suatu pendapatan otak yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa. </span><br /></div><span style="font-size:100%;"><br />Kecakapan dan sifat luar biasa dari seseorang membangun revolusi, mempercepat atau memimpinnya menuju ke kemenangan, tetapi ia tidak dapat menciptakan dengan otaknya sendiri.</span><span style="font-size:100%;">Revolusi ialah yang disebabkan oleh pergaulan hidup, satu hakekat tertentu dari perbuatan-perbuatan masyarakat.</span><br /><span style="font-size:100%;"><br />Jika Diponegoro dilahirkan di Barat dan menempatkan dirinya di muka satu revolusi dengan sanubarinya yang suci itu, boleh jadi akan dapat menyamai perbuatan-perbuatan Crommwell atau Garibaldi. Tetapi ia menolong perahu yang bocor, kelas yang akan lenyap.</span><br /><span style="font-size:100%;">Jika sekiranya pulau Jawa mempunyai borjuasi nasional yang revolusioner dan Diponegoro dalam perjuangannya melawan Mataram dan Kumpeni pastilah ia akan berdiri di sisi borjuasi itu.</span><span style="font-size:100%;">Pengupasan yang cocok betul atas masyarakat Indonesia syarat terutama untuk mendapat perkakas revolusi, dan itu pulalah yang menjadi syarat pertama yang mendatangkan kemenangan revolusi kita.</span><br /><br /><span style="font-size:100%;">Revolusi Indonesia sebagian kecil menentang sisa-sisa feodalisme dan sebagian yang terbesar menentang imperialisme Barat yang lalim ditambah lagi oleh dorongan kebencian bangsa Timur terhadap bangsa Barat yang menggencet dan menghinakan mereka.</span><br /><span style="font-size:100%;">Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai keadaan.</span><br /><br /><span style="font-size:100%;">Selama orang percaya bahwa kemerdekaan akan tercapai dengan jalan putch atau anarchisme hanyalah impian seorang yang lagi demam.</span><span style="font-size:100%;"> Jika kita mau mengumpulkan dan memusatkan tenaga-tenaga revolusioner di Indonesia dengan jalan massa aksi yang tersusun buat merantapkan kemerdekaan nasional, tentulah kita mesti mempunyai satu partai yang revolusioner.</span><br /><span style="font-size:100%;"><br />Partai mesti berhubungan rapat dengan massa terutama dalam saat yang penting, dengan segala golongan Rakyat dari seluruh kepulauan Indonesia. Dengan tidak berhubungan seperti itu, tak akan ada pimpinan yang revolusioner.</span><span style="font-size:100%;"> Dengan jalan revolusi dan perang kemerdekaan nasional-lah (yang dapat dimasukkan ke dalam revolusi sosial!!!), maka sekalian negeri besar-besar yang modern, tidak ada kecualinya, dapat melepaskan diri dari kungkungan kelas dan penjajahan.</span><br /><br /><span style="font-size:100%;">Revolusilah, yang bukan saja menghukum, sekalian perbuatan ganas, menentang kecurangan dan kelaliman, tetapi juga mencapai sekalian perbaikan bagi yang buruk.</span><br /><span style="font-size:100%;">Di dalam masa revolusilah tercapainya puncak kekuatan moril, terjadinya kecerdasan pikiran dan memperoleh segenap kemampuan untuk pendirian masyarakat baru.</span><br /><br /><span style="font-size:100%;">Satu kelas atas satu bangsa yang tidak mampu melemparkan peraturan-peraturan kolot serta perbudakan dengan perantaraan revolusi, niscaya musnah atau ditakdirkan menjadi budak buat selama-lamanya.</span><br /><br /><div style="text-align: left;"><br /><span style=";font-family:arial;font-size:100%;" ><span style="font-size:130%;"><span style="font-size:100%;">Revolusi itu menciptakan!!<br /><br />(Datuk Ibrahim Tan Malaka)<br /></span></span></span></div>MANUSIA PNEUMOTOFOShttp://www.blogger.com/profile/11382854418126998614noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8654011464651826918.post-14026215108132812972008-05-14T22:44:00.000-07:002008-05-14T22:57:06.290-07:00Moral Dalam Tinta Sebuah Pena<div style="text-align: left; color: rgb(102, 102, 102);font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span class="postbody"> Begini, kalau tidak salah 3 minggu yang lalu kejadian ini tergelar. Waktu itu saya sedang presentasi makalah pada mata kuliah Agama dan Pendidikan. Makalah saya itu bertemakan tentang moral manusia dalam perspektif pendidikan. Terus terang, saya tidak ikut membuat makalah tersebut. Saya hanya numpang nyontong tok. Isi makalah itu pun saya baru tahu pada hari itu. </span><br /><span class="postbody"> </span><br /><span class="postbody"> Kami (saya dan kelompk saya) sepakat bahwa mata pelajaran "moral" (PMP, PPKN, etc..) tidak diajarkan pada siswa maupun mahasiswa. Tentu saja itu nyeleneh. Kontroversi pun melekat pada makalah tersebut. Tapi kami bukan tidak punya argumen atau sekedar bacot tok. Asumsi kami ialah: </span><br /><span class="postbody"> </span><br /><span class="postbody"> 1. Sebuah nilai yang diberikan guru atau dosen telah bertransformasi dari sebuah "tanda" menjadi "penanda". Nilai akademik tidak lagi menjadi asumsi bisu perihal bodoh-pintarnya seseorang, tetapi telah menjadi alat penakar tentang kriteria baik-buruk seseorang dalam menjalani kehidupan. Dalam artian, begini: misal, ada seorang siswa kelas 1 SMA yang mendapatkan nilai merah pada mata pelajaran PPKN-nya, maka pernyataan yang lahir setelahnya ialah, "anak ini bodoh sekali, masa PPKN saja merah. Itu "tanda" bahwa si siswa tadi seorang yang bodoh, dengan asumsi bahwa PPKN adalah pelajaran yang terhitung mudah, akan tetapi dia tidak mampu mempelajarinya sehingga dia mendapat nilai merah di raport. Sekali lagi, itu "tanda". "Penanda"-nya ialah: "pasti dia siswa yang bejat, cabul, pornois, atheis, hingga mata pelajaran PPKN tidak mampu ia serap." Opini bodoh seperti itulah yang membuat seseorang (seakan) dapat mengukur bahwa segala nilai kehidupan dapat ditakar lewat nilai-nilai yang termaktub di raport. Bahkan moral sekalipun. Dan bagi kami, saya khususnya, itu ironis, bahkan paradoks. "Tanda" menjadi "Penanda". Betapa naifnya, saya kira, bila parameter sebuah nilai moral ditentukan oleh warna tinta sebuah pena. </span><br /><span class="postbody"> </span><br /><span class="postbody"> 2. Bagaimana moral si guru PPKN sendiri hingga dia berhak memberikan nilai merah pada raport si siswa tadi? Apakah hanya karena dia seorang khatib mingguan saat Jumatan? Apakah karena dia senantiasa berpeci-ria saat mengajar? Atau dia seorang yang sudah 10x naik haji? Bagi saya, itu nonsense. Kita sudah terlampau sering menyimak atau bahkan ikut andil dalam rutinitas penjualan agama, rutinitas kemunafikkan. Perilaku-perilaku amoril yang ditawarkan oleh orang2 yang membawa agama ke jenjang politik, negara, fasilitas perang, dan menjadikan agama sebagai janji irasional yang memuakkan.Dan hasilnya seperti ini: orang merasa yakin untuk tidak beragama. Tidak semua manusia beragama itu suci. Ini saya tekankan karena kita terlampau sering mengukur nilai moral melalui perspektif agama. Terlebih bila ada salah satu dari anda yang terkena sindrom fanatik sebuah agama. Seakan agama yang beda dengan anda ialah kafir, ialah tidak bermoral, pembunuh, setan, yang akan dilaknat Tuhan dan disekap dalam bara neraka tanpa memperhitungkan bahwa dulu dia pernah bermoral juga. Seakan orang yang kritis terhadap agama di cap atheis, tidak ber-Tuhan, komunis. Dalam hal tersebut, timbul pertanyaan: dimana keadilan? Itulah nilai merah moral sebenarnya. Ketika dimana moral dijadikan klaim sepihak dengan hanya menilik melalui 1 perspektif saja. </span><br /><span class="postbody"> </span><br /><span class="postbody"> Sekolah telah salah disini. Sekolah, berikut para pekerja didalamnya telah mendoktrin secara tidak langsung kepada segenap siswa bahwa disanalah nilai-nilai kebenaran lahir, selain, tentu saja, rumah ibadah. Dan orang-orang dengan mainstream naif seperti itulah yang menjadi alasan kenapa banyak dari kita yang menyepelekan moral dan agama. Hemat saya, ada belenggu yang yang sangat besar untuk sekedar mempercayai begitu saja apa makna moral dalam buku-buku sekolah, dari KBBI, dari kata-kata yang keluar dari mulut seorang guru atau dosen, pendeta atau kiyai. </span><br /><span class="postbody"><br />Tulisan ini bakal memuncakkan amarah yang sengit, pikir saya. Maka, bila itu benar, dari sinilah klaim-klaim timbul lewat pelbagai kesalahtafsiran sentimentil. Hujat menghujat senantiasa lahir karena adanya aturan maupun etika yang terlanggar tanpa mempedulikan bahwa sebuah teks tidak hanya didirikan oleh struktur, tapi juga mampu membuat struktur, sekaligus memperkaya tafisr pembaca. Kalau memang terjadi seperti itu, ironi yang menang. Dan kesimpulan pun saya tarik: bahwa bicara moral berarti membicarakan sebuah medan magnetik yang dapat membuat orang berbuat naif, dan lepas kendali. Lalu, lagi-lagi saja nilai merah pada mata pelajaran PPKN ialah salah satu hal yang diyakini sebagai penyebab kenapa banyak orang tidak bermoral dan masuk neraka. </span></span></div>MANUSIA PNEUMOTOFOShttp://www.blogger.com/profile/11382854418126998614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8654011464651826918.post-88563233166580097962008-04-24T22:05:00.000-07:002008-04-24T22:09:58.235-07:00Menjual Buruh Lewat May Day<span style="font-weight: bold;"></span>Kalau Indonesia merayakan perubahan, ada banyak pertanyaan yang mengiringinya. Siapa yang mengawali perubahan itu? Bagaimana prosesnya kelak? Mau kemana perubahan itu dibawa?<br /><br />***********<br />1 Mei 2008 esok, kembali, sebuah titimangsa pagelaran akbar dari rakyat kelas pekerja dirayakan. Pada hari itu pula, segenap aktifis dan massa pergerakan, buruh-buruh pabrik dan rakyat miskin kota berlomba meneriakkan apa yang selama ini mereka impikan: kesejahteraan. Bersanding dengan megatruh yang mengintai disekeliling mereka, dengan segenap gundah yang membuncah, yang pahit tak tertahankan, mereka menjelma menjadi subyek aktif dengan penuh prakarsa: sekali lagi, menuntut kesejahteraan.<br /><br />Kita pun mengingat kembali tanggal 1 Mei nanti dengan apa yang telah dilakukan Peter Mcguire pada tahun 1872 di Amerika Serikat. Mcguire, seorang pekerja mesin dari Paterson, New Jersey, yang dengan keringat deras meluluri tubuhnya mengajak 100.000 massa pekerja melakukan aksi mogok menuntut pengurangan waktu kerja. Ia pun menderu, melobi, berbicara kesana kemari. Dari pekerja sampai pengangguran, pemerintah kota sampai bos-bos pabrik, menuntut diadakannya kebijakan: pekerjaan dan uang lembur. Aksinya tersebut, tak ayal menimbulkan berbagai kecaman yang membuatnya terkenal. Dengan sebuah pengerucutan kesimpulan baginya: Ia dianggap sebagai biang pengganggu ketentraman masyarakat.<br /><br />9 tahun depa perjalanan ia lakoni, akhirnya Peter Mcguire menghadirkan sebuah ide untuk mengorganisasikan pekerja menurut bidang keahlian mereka. Ide ini muncul setelah sebelumnya ia mendirikan organisasi yang terdiri atas tukang-tukang kayu di Chicago: United Brotherhood of Carpenters and Joiners of America, dimana ia menjadi sekretaris umum disana.<br /><br />Dan kita pun tahu bahwa Mcguire berhasil mengutarakan idenya. Pada 5 Sepetember 1882 Amerika Serikat, dengan Mcguire sebagai tokoh sentral, menggelar perayaan parade buruh di New York dengan peserta 20.000 orang yang membawa spanduk bertuliskan, "8 JAM KERJA, 8 JAM ISTIRAHAT, 8 JAM REKRASI." Aksi dan gagasan ini pun menyebar ke belahan negara lain. Hingga pada akhirnya tuntutan itu sukses: Presider Grover Cleveland menandatangani sebuah undang-undang yang menjadikannya hari libur umum nasional.<br /><br />Peter Mcguire pun tersenyum. Ia menjadi seorang mahesa dengan segenap rayuan yang menggelegak untuk membuat sadar para manusia yang terlindas deru mesin-mesin di pabrik.<br /><br />Bagaimana di Indonesia?<br /><br />Perayaan May Day di Indonesia tidak lebih dari perayaan nasib kelam, perayaan anarkisme yang selalu tumpang tindih, perayaan ketidaksetujuan, dan perayaan yang penuh akan kesalahtafsiran sentimentil.<br /><br />Ada, seperti yang pernah dikatakan Jean Luc Marion, seorang fisuf Prancis, pemberhalaan konsep, disana. Buruh direduksi sebagai sebuah konsep yang melulu harus diperjuangkan. Seolah, dengan tinggi hati, kita dapat memahami permasalahan buruh hanya dengan sebuah kepastian: kemiskinan. Buruh dikomodifikasi sebagai bagian dari atribut revolusi. Dan selesai sampai disitu. Selesai sampai dimana buruh dijadikan sebuah definisi yang berjarak dengan berbagai macam eskatologi baru yang dijanjikan.<br /><br />Lelaku seperti ini, menjanjikan surga baru yang dinantikan, adalah sikap yang salah. Ketika kekecewaan makin intens terhadap kerinduan akan surga tadi, maka segala hal ikut dikorbankan, dan akan sangat mudah muncul kekecewaan. Karena dunia tidak akan pernah jadi surga, sehingga ada spiral kekecewaan dan kekerasan yang tak lekang sampai surga tersebut muncul keharibaan para buruh di dunia, tentunya.<br /><br />Kita pun jadi bertanya-tanya: apa ini kesalahan reformasi? Tidak sepenuhnya benar dan dapat dijawab pasti. Ketika 10 tahun reformasi dinilai gagal, maka itulah kegagalan sepenuhnya. Dalam hal tersebut, demokrasi dilupakan. Mekanisme tentang adanya pengakuan bahwa tidak ada sistem yang sempurna, dibatalkan. Tampaknya kita tidak pernah mau mengerti akan makna kombinasi antara harapan dan ironi. Dan ada kebutuhan akan akal instrumental dalam pemberhalaan konsep.<br /><br />Kita, hemat saya, telah salah menafsir buruh dan permasalahannya.<br /><br />Arif Budiman pernah berujar: You fight and you have fun. Ini dimaksudkan bahwa agar kita terus menjaga ironi dan jarak terhadap perjuangan. Agar kita tidak perlu takut menghadapi kekalahan, karena kita masih punya fun. Para duta May Day perlu memasifkan semboyan ini. Karena buruh selalu dipersulit dengan demonstrasi yang tak kunjung padam. Selalu menjadi pesakitan dan simbol kegelepan di Indonesia. Dan ngomong-ngomong soal kegelapan, saya jadi ingat semboyan lain. Kalau tidak salah, semboyan itu ialah semboyan dari kalangan HAM sedunia, bunyinya begini: “Jangan kutuk kegelapan, nyalakan lilin."<br /><br />Darimana lilin tersebut? Ia hadir ketika kita sadar bahwa ada jenjang yang telah pasti akan ironi dan harapan. Ia hadir ketika kita sadar bahwa revolusi tidak akan membuat dunia berubah drastis dan buruh-buruh menjadi kenyang perutnya.MANUSIA PNEUMOTOFOShttp://www.blogger.com/profile/11382854418126998614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8654011464651826918.post-22744439069047465812008-02-19T08:22:00.000-08:002008-02-19T08:25:00.599-08:00Babat Sekolah!<p class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0cm 12pt 17.85pt; line-height: normal; text-align: left;">Andai ada mesin pencetak manusia multifungsi tanpa kenal usang, anda boleh sepakat dengan 7 abjad ini: SEKOLAH! Sekolah, seperti yang kita kenal ialah traktat penerabas fenomena involutif alam pikiran manusia. Berasal dari kata Latin <i style="">skhole</i> yang berarti ‘waktu senggang’, sekolah kini menjadi barang dengan probabilitas yang tak bisa ditawar lagi. Ia begitu dipuja. Dinikmati. Diagung-agungkan. Disembah, barangkali.</p><div> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0cm 12pt 17.85pt; line-height: normal; text-align: justify;">Tapi, dibalik kebanggaan kita dengan sekolah, ternyata banyak juga yang beranggapan bahwa sudah saatnya manusia terbebas dari sekolah. Kalau di sebelah anda sekarang ada Roem Topatimasang, pastilah dia akan tersenyum-senyum. Ya, lelaki itulah yang pernah menggegerkan jagat pendidikan Indonesia lewat sebuah pamflet Illichian-nya yang begitu syahdu menggelegar: <span style=""> </span>Sekolah Itu Candu!. <span style=""> </span>Roem membabat habis kesakralan identitas sekolah saat ini dalam bukunya tersebut. Baginya, sekolah sekarang tak hanya layak didedah, tapi juga patut <i style="">diganyang.</i></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0cm 12pt 17.85pt; line-height: normal; text-align: justify;">Buku ini bermula dari seorang tokoh bernama Sukardal yang hidup ditahun 2222. Dia menemukan setumpuk berkas tua di Museum Bank Naskah Nasional yang termasuk “BACAAN TERLARANG-GOLONGAN A (SANGAT BERBAHAYA)”, berjudul: Sekolah. Judul yang bagi Sukardal kala itu terdengar asing dan samar-samar. Merasa tertantang, Sukardal pun membaca helai per helai naskah tersebut. Dan Sukardal pun membaca...</p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0cm 12pt 17.85pt; line-height: normal; text-align: justify;">Dalam “pembacaan” Sukardal tadi, ditambah dengan esai-esai yang memikat, Roem mengajak kita untuk menjelajahi sekolah-sekolah yang memiliki kurikulum yang bebas dari patron baku sekolah-sekolah yang ada. Metode pengajaran yang <i style="">nyeleneh</i>. Kasus-kasus pendidikan yang memerlukan keadilan, hingga kebobrokan sistem pendidikan yang telah mapan.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0cm 12pt 17.85pt; line-height: normal; text-align: justify;">Sebutlah Universitas Rockfeller di New York, Amerika Serikat. Di universitas ini jangan harap anda akan menemukan daftar mata pelajaran baku, jadwal jam belajar resmi, kelas-kelas yag dibagi-bagi per tingkat atau per jurusan, ujian kolektif. Semua kebakuan tersebut dijungkirbalikkan dengan: kebebasan mahasiswa dalam memilih dan menetapkan sendiri apa yang mau mereka pelajari dan bagaimana cara yang paling sesuai untuk mempelajarinya! Tapi, jangan dulu anggap bahwa universitas ini universitas sembarangan. Kalau anda pernah mengenal nama-nama seperti David Baltimore, Gerald Edelmann, Theodosius Dobzhansky dan beberapa penemu hebat lainnya, dari sinilah kesohoran mereka lahir. Sayangnya, universitas ‘unik’ ini tertelan dibalik universitas-universitas tersohor di Amerika Serikat, seperti, Cambridge, Harvard, Stanford, MIT, dll.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0cm 12pt 17.85pt; line-height: normal; text-align: justify;">Roem juga menyadarkan kita dari kebodohan kaum urban dengan menggambarkan suasana di Mantigola, Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara dari segi pendidikan. Disana, bukan murid-murid yang menikmati sarana antar-jemput, tetapi guru-guru mereka! Hebatnya lagi, sarana antar-jemput tersebut bukan sekolah yang menyediakan, tapi murid-muridnya! Keaslian kultur di perkampungan Orang Bajo tersebut disebut Roem sebagai, “hal ‘ajaib’ yang sangat jamak terjadi di negeri yang juga ‘ajaib’.” Dengan menghadirkan kultur tersebut sebagai bagian dalam buku yang tertuju bagi masyarakat urban, Roem sungguhlah sedang mengepal kekuatan subversif dan mengangkat pedang resistensi terhadap pola pendidikan sekarang. Perkotaan khususnya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0cm 12pt 17.85pt; line-height: normal; text-align: justify;">Tapi, jangan keburu cepat menilai bahwa Roem ialah seorang anarkis pendidikan yang hanya menawarkan antiserum ekstrim lewat revolusi. Coba tengok bab 9 yang berjudul Involusi Sekolah. Dalam bab tersebut Roem coba memadu-padankan kegeraman terhadap sistem pendidikan yang telah mapan dengan rasio mimikri yang sehat dan intelek. Jika kita menilik kalimat per kalimat, Roem memang terlihat sengaja mengumbar kata-kata yang menohok para petinggi pendidikan Indonesia. Pun dengan sindiran-sindiran yang ditulisnya. ‘Keengganan ideologis’, ‘kebanggaan semu budaya’, atau ‘kemalasan intelektual’ adalah sebagian kalimat yang dibaurkan Roem lewat persinggungan presisi, guna meninju pikiran pembaca agar lekas ‘tersadar’ dari kesalahan sistem yang ada.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0cm 12pt 17.85pt; line-height: normal; text-align: justify;">Pada bab 11 yang bejudul Sekolah Itu Candu! disinilah saya kira Roem menghadirkan sindiran yang begitu telak terhadap sistem pendidikan kita. Bab ini menceritakan bagaimana bayangan Roem tentang opini orang-orang yang tahu kasus pemecatan Eko Sulistyo, seorang siswa SMA di Yogyakarta. Dia dipecat dari sekolah karena mengumumkan hasil penelitian yang diprakarsai dan dilaksanakannya sendiri tentang pandangan kaum remaja seusianya mengenai kehidupan seksual. Alasan pemecataannya yang dinilai tidak objektif dan terkesan mengada-ngada: penelitian yang dilakukan Eko tidak mendapat izin resmi dari sekolah dan pejabat setempat. Atas hal itulah Roem menutup bab ini dengan mahakata yang begitu Marxis: Sekolah Itu Candu!, karena sekolah dengan kebenaran tak terbatas berhak memvonis salah-tidaknya seseorang.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0cm 12pt 17.85pt; line-height: normal; text-align: justify;">Puncak kekecewaan Roem terhadap sekolah ditutup dengan epilog: Sekolah Masa Depan. Ini akhir episode dari Sukardal yang telah selesai membaca naskah terlarang tadi. Karena terheran-heran (sekaligus terpengaruh) dengan naskah tadi, Sukardal lantas menghubungi para kerabat-kerabatnya yang terdiri dari tetangga terdekat dan juga seorang profesor untuk menghadiri pertemuan yang diselenggarakannya di Balai Pertemuan RT. Disana Sukardal yang menjadi guru. Mengajari orang-orang yang hadir tentang bagaimana mendapatkan buah labu jenis baru dengan kualitas yang jauh lebih baik. Sang profesor tampak paling bersemangat, sedang Sukardal terus berkelakar. Hingga pada akhirnya kita semua diajak untuk sadar oleh Roem bahwa: Sukardal hanyalah seorang petani!</p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0cm 12pt 17.85pt; line-height: normal; text-align: justify;">Kalau Foucault bilang pengetahuan itu mempunyai kekuasaan, maka jelaslah sudah apa yang sebenarnya kita butuhkan dari hegemoni pengetahuan yang menindas: Makar! Dan buku ini layak ditempatkan di posisi teratas. Apalagi yang harus anda pikirkan? Iqra!</p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0cm 12pt 57.25pt; line-height: 115%; text-align: justify;"><o:p> </o:p></p>MANUSIA PNEUMOTOFOShttp://www.blogger.com/profile/11382854418126998614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8654011464651826918.post-65085377834145771542008-02-19T07:35:00.000-08:002008-05-15T07:51:49.295-07:00For A Fighting The Truth, There's No Journeys End!<p class="MsoNormal" style="text-align: center; font-family: arial;font-family:times new roman;" align="center"><span style="font-size:100%;"><em><span style="line-height: 115%; font-style: normal;">Metanoia Seorang Wartawan; Kemarahan, kesedihan..<o:p></o:p></span></em></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; font-family: arial;font-family:times new roman;" align="center"><span style="font-size:100%;"><span style="line-height: 115%;">Tatkala cuaca sedang bersedu-sedan, aku berkaca..<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; font-family: arial;font-family:times new roman;" align="center"><span style="font-size:100%;"><span style="line-height: 115%;">“Duh Gusti Aloh.. Yang wajah-MU terpahat setiap saat.. Mengapa nasib tak beranjak…? Kalbu-MU tak berpijak.. Sangsai-MU enggan tersibak.. Ridho-MU pudar tersingkap.. Mengapa Gusti Aloh??<span style=""> </span>Doa ku sudah berbaur dengan bulir-bulir air mengalir.. Serintih buih-buih pedih.. Sekepal batu-batu terjal.. Sejumput riwayat penuh kemelut.. Tapi Gusti Aloh.. Duhh.. Apa iya harus ku murtad?”<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; font-family: arial;font-family:times new roman;" align="center"><span style="font-size:100%;"><span style="line-height: 115%;">Aku pun bersembah-sujud.. Menciumi wangi tanah yang dulu tertimbun darah..<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; font-family: arial;font-family:times new roman;" align="center"><span style="font-size:100%;"><span style="line-height: 115%;">Dan lagi-lagi: Aku hanya bisa meratapi..<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; font-family: arial;font-family:times new roman;" align="center"><span style="font-size:100%;"><span style="line-height: 115%;">“Duhai kosmik tanpa wajah.. Semesta tanpa raut.. Penjelaga tanpa batas.. Adilkah ini kata-Mu? Memadu rindu dengan agama-MU.. Yang diruntut kaum-MU bagai kode buntut.. Bagai metanoia tak berujung.. Bagai gelegar petaka..<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; font-family: arial;font-family:times new roman;" align="center"><span style="font-size:100%;"><span style="line-height: 115%;">Bagai..<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; font-family: arial;font-family:times new roman;" align="center"><span style="font-size:100%;"><span style="line-height: 115%;">Bagai..<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; font-family: arial;font-family:times new roman;" align="center"><span style="font-size:100%;"><span style="line-height: 115%;">Bagai.. Syahwat binal tak bertepal..”<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; font-family: arial;font-family:times new roman;" align="center"><span style="font-size:100%;"><span style="line-height: 115%;">Aku bangun.. Merintih menangis.. Miris.. Sungguh miris..<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; font-family: arial;font-family:times new roman;" align="center"><span style="font-size:100%;"><span style="line-height: 115%;">“Gusti Aloh.. Aku mencari ajalku, sebagaimana ajal-MU datang menjemput tanpa sambut kawan-kawanku.. Sebagaimana ketidakadilan-MU datang menindih doa kawan-kawanku.. Sebagaimana kejam-MU mencabik senyum kawan-kawanku.. Gusti Aloh.. Ya Gusti Aloh.. Ijinkanlah aku meminta ajalku.. Mendatangi-MU biar kita mabuk bercinta.. Menyatu menderu.. “<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; font-family: arial;font-family:times new roman;" align="center"><span style="font-size:100%;"><em><span style="line-height: 115%; font-style: normal;">Aku memandang sekeliling, kutatap pedih tak bergeming..<o:p></o:p></span></em></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; font-family: arial;font-family:times new roman;" align="center"><span style="font-size:100%;"><em><span style="line-height: 115%; font-style: normal;">Ternyata kawanku datang dan menyeru kemana keadilan.. “Aku mati oleh rezim Tuhan..”<o:p></o:p></span></em></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; font-family: arial;font-family:times new roman;" align="center"><span style="font-size:100%;"><em><span style="line-height: 115%; font-style: normal;"><o:p> </o:p></span></em></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; font-family: arial;font-family:times new roman;" align="center"><span style="font-size:100%;"><em><b style=""><span style="line-height: 115%; font-style: normal;">TERSIRAT UNTUK PARA WARTAWAN YANG PERNAH MATI DICEKIK OLEH TAKDIR YANG ENGGAN BERPIHAK..<o:p></o:p></span></b></em></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; font-family: arial;font-family:times new roman;" align="center"><span style="font-size:100%;"><em><b style=""><span style="line-height: 115%; font-style: normal;">**************************************************************<o:p></o:p></span></b></em></span></p>MANUSIA PNEUMOTOFOShttp://www.blogger.com/profile/11382854418126998614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8654011464651826918.post-41843637071851326882008-02-06T22:22:00.001-08:002008-05-15T07:53:05.655-07:00Tiada Tangis Untuk Disman<p style="font-family: arial;">Sudisman, anggota Polit biro CC PKI, dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Mahmilub tahun 1967 dengan tuduhan terlibat peristiwa 1965. Di tahun itu juga ia dieksekusi. Hanya Sudisman yang menjalani proses pengadilan dari 5 pucuk pimpinan PKI. Yang lain lenyap tak tentu rimbanya. Bagaimana mati dan kuburnya pun tak terpastikan. Di samping itu ratusan ribu warganegara Indonesia yang tak pernah diadili dan dibuktikan bersalah: baik anggota, simpatisan maupun yang diduga ada hubungan dengan PKI, dibantai, dipenjarakan, atau dibuang ke Pulau Buru. Pada minggu pertama Oktober 1965, 5 dari pucuk pimpinan PKI, cuma Sudisman yang berada di Jakarta sementara 3 orang ada di Jawa Tengah : Aidit, Lukman dan Sakirman sedangkan Nyoto di Sumatra Utara.<br /></p><span style="font-family: arial;font-family:arial;" >Sudisman sendiri sempat melewati masa pelarian dan sembunyi. Pada masa pelarian inilah, ia berhasil membuat Pledoi atau KOK partai. Pledoi Sudisman yang mengatasnamakan Polit Biro CC PKI sendiri diselesaikan di Jawa Tengah, Bulan September 1966. Pledoi Sudisman ini juga dianggap telah mengakhiri pertentangan dalam faksi-faksi PKI akibat G 30 S yang gagal.<br />Dalam Pledoi itu Sudisman menyatakan:<br /><br />Malapetaka yang telah menimbulkan kerugian berat kepada PKI dan gerakan revolusioner rakyat Indonesia sesudah terjadi dan gagalnya “Gerakan 30 September” telah menyingkapkan tabir yang dalam waktu cukup lama menutupi kelemahan-kelemahan berat PKI. Pimpinan PKI telah menjalankan avonturisme yaitu dengan mudah saja tanpa mengindahkan ketentuan-ketentuan organisasi melibatkan diri ke dalam “Gerakan 30 September” yang tidak berdasarkan kesadaran dan keyakinan yang tinggi massa rakyat. Dan karena itu telah menyebabkan terpencilnya partai dari massa rakyat. Sebaliknya sesudah kalahnya “Gerakan 30 September” pimpinan partai menjalankan garis oportunisme kanan yaitu menyerahkan nasib partai dan gerakan revolusioner pada kebijaksanaan Presiden Sukarno. Ini adalah puncak kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan berat PKI baik di bidang ideologi, politik dan organisasi”<br /><br />Sudisman, akhirnya tertangkap di daerah terpencil Tomang pada tanggal 6 Desember 1966. Katanya: “Dalam juang terkepung lawan, tepat setahun sesudah Kawan Njoto tertangkap”. Untuk penangkapannya ini ia mengungkapkannya secara puitik:<br /><br />DISERGAP<br />Seisi rumah lagi enak nyenyak,<br />mendadak terperanjat,<br />bangun terbentak,<br />oleh gedoran pintu dibarengi derap sepatu,<br />todongan pistol bernikel menuding-nuding,<br />mengabakan, ayo jongkok dipojok,<br />dengan baju celana dalam thok,<br />alangkah berkesan bagiku adegan ini,<br />disergap sesaat mentari merekah pagi.<br /><br />Selama dalam tahanan, anehnya Ia sendiri, tak mengalami siksaan fisik yang berarti seperti yang lain-lain walau seharusnya dialah yang paling bertanggung-jawab. Sudisman menyatakan:<br />Dari persoalan penangkapan saya menjurus ke pemeriksaan. Saya ingin mengemukakan bahwa saya pribadi tidak pernah mengalami pukulan selama pemeriksaan, malahan hubungan antara pemeriksa dan yang diperiksa berdasarkan saling menghormati dan saling mengerti akan keyakinan masing-masing titik tolaknya, saling menghormati walaupun menganut perbedaan politik. Tetapi tidak demikian halnya jang dialami oleh kawan-kawan saya, sampai-sampai kawan Anwar Sanusi, calon anggota Politbiro CC-PKI dan bekas wakil Sek.Jen. Front Nasional pusat masih dipukul juga, apalagi yang lain. Ragam pukulan hampir menyerupai siksaan sewaktu zaman fasis Jepang, hanya digantung sajalah yang tidak digunakan. Sungguh mengerikan kalau melihat derita akibat pukulan yang dialami kader-kader PKI dan mereka yang dituduh tersangkut dengan G.30.S., padahal ke salahan mereka belum terbukti, dan belum tentu mereka itu bersalah. Belum tentu bersalah tetapi badannya sudah rusak akibat pukulan dan diselomoti (dibakar) dengan nyala rokok, sandal karet yang dibakar, sampai distrom.<br />Ia pun menyadari ini. Karenanya dalam pembelaannya di mahmilub ia mengemukakannya sebagai Uraian Tanggung Jawab bukan pidato pembelaan karena menurutnya suatu pembelaan harus memiliki persenjataan yang lengkap baik di bidang teori Marxisme-Leninisme maupun di bidang-bidang lainnya. Persenjataan itulah yang justru tidak dia miliki karena persediaan perpustakaan tidak dia miliki dan tidak ada di tangannya.<br />Pada pengadilan mahmilub itu, sebagai seorang komunis yang bersandar pada pengetahuan Ilmiah, ia pun menolak di sumpah atas nama agama apapun. Dengan rendah hati, ia pun menyatakan bertanggung jawab atas peristiwa 1965, karena kawan-kawannya lain sudah lebih dulu menempuh “jalan mati”. Untuk ini ia menyatakan:<br />Mereka berempat telah mati tertembak tanpa "jalan-justisi". Mereka berempat adalah saya, dan saya adalah mereka berempat, sehingga solidaritas Komunis mengharuskan saya untuk menunggalkan sikap saya dengan mereka berempat dan memilih "jalan mati". Saya dengan mereka berempat telah berpanca-kawan, artinya, berlima telah bersama-sama membangun kembali PKI sejak tahun 1951, dari kecil menjadi besar, dari berpolitik salah menjadi berpolitik benar, dari terisolasi menjadi berfront luas, dari kurang belajar teori menjadi mulai belajar teori Marxisme - Leninisme, dan karena tidak menguasai teori Marxisme - Leninisme secara kongkrit kemudian berakhir terpelanting dalam kegagalan' G-30-S yang membawa kerusakan berat pada PKI. Saya pribadi terlibat dalam G-30-S yang gagal. Kegagalan ini berarti pula kegagalan saya dalam memimpin PKI, sehingga mendorong menjadi unggulnya pihak lawan politik PKI.<br />Di hadapan pengadilan Mahmilub ini juga ia mengungkapkan kondisi yang senasib antara Bung Karno dan PKI. Ia menyatakan:<br />Saya dan PKI tidak pernah memberikan gelar ini atau itu kepada Bung Karno, tidak pernah memberikan agung ini, atau agung itu, sebab gelar satu-satunya jang tepat adalah "Bung Karno" sehingga nama Bung Karno berkembang dari Sukarno (ada kesukaran) ke Bung Karno (artinja bongkar kesukaran). Sebagai sesama orang revolusioner, justru dalam keadaan sulit seperti sekarang inilah saya terus membela dan mempertahankan Bung Karno, sebab sesuatu mengatakan bahwa "in de nood leert men zijn vrien den kennen" (dalam kesulitan kita mengenal kawan) dan "jo sanak, jo kadang, jen mati aku sing kelangan" kata Bung Karno untuk PKI. Sebagai arek Surabaya, saya sambut uluran tangan Bung Karno dengan: "ali-ali nggak ilang, nggak isa lali ambek kancane". (artinya tidak bisa lupa sama kawannya).<br />Kenapa saya bela dan pertahankan Bung Karno? Sebabnya ialah sepanjang sejarahnya Bung Karno konsekwen anti Imperialis sampai berani menyemboyankan "go to hell with your aid" terhadap imperialis Amerika Serikat; Bung Karno setuju mengikis sisa-sisa feodal dengan mengadakan landreform terbatas; dan Bung Karno setia pada persatuan tenaga-tenaga revolusioner. Inilah dasar daripada instruksi saya pada anggota-anggota PKI, untuk masuk dan bentuk "Barisan Sukarno".<br />Dalam kesulitan seperti sekarang ini berlakulah pepatah Pavlov bagi Bung Karno "a discovery begins where an unsuccessful experiment ends" (suatu penemuan mulai pada saat pengalaman yang tidak sukses berhenti).<br />Sebagai perpisahannya dan kesiapannya menatap pelaksanaan hukuman baginya, Disman mengutip perkataan penulis Andrew Carve: No tears for Disman - Tiada airmata bagi Disman. Sedangkan bagi para petugasnya, ia sampaikan: You had done the world a service - Kalian telah berbuat bakti bagi dunia. Sebagai orang Jawa, ia menyatakan dalam bahasa Jawa yang bernada miris:<br />Pertama: matur nuwun, terima kasih kepada semua pihak yang telah merasa membantu saya selama berjuang;<br />Kedua: nyuwun gunging pangaksomo, minta seribu maaf, terutama kepada massa progressif revolusioner jang merasa saya rugikan selama dalam perjuangan;<br />Ketiga: nyuwun pangestu, minta restu terutama pada semua keluarga istri dan anak-anak dalam saya melaksanakan putusan hukuman.<br />Ben Anderson yang hadir pada persidangan itu kemudian mengungkapkan:<br /><br />Dari kesaksian Sudisman saya dapat kesan bahwa dia merasa diri dalam keadaan di mana partai yang ikut dia pimpin itu dihancurkan secara mengerikan. Ratusan ribu yang mati. Dan dia sebagai seorang pemimpin dan sebagai seorang Jawa merasa bertanggung-jawab. Bagaimanapun, kalau pimpinannya baik dan beres seharusnya hal seperti itu tidak terjadi. Karena itu dia menamakan pembelaannya itu "Uraian Tanggung Jawab." Dia tidak mau debat tentang soal ini-itu. Dia cuma bilang, "Bagaimanapun juga, sebagai pimpinan tertinggi yang masih hidup, saya memakai kesempatan ini untuk meminta maaf atas apa yang terjadi." Sudisman tidak pernah bilang bahwa dia ikut merencanakan G-30-S. Dia cuma bilang bahwa rupanya ada unsur-unsur PKI yang terseret. Dia tidak membicarakan soal Biro Khusus. Tidak membenarkan dan juga tidak membantah adanya. Waktu Syam memberi kesaksian, Sudisman tidak mau melihat mukanya dan tidak mau menjawabnya. Yang jelas, untuk sebagian besar dari saksi-saksi waktu itu informasi tentang adanya Biro Khusus itu sesuatu yang mengejutkan sekali. Jelas mereka sama sekali tidak tahu menahu.<br /><br />***<br />Sudisman, pejuang yang telah melewati pasang-surut revolusi Indonesia dengan berani itu dilahirkan di Jember, 1920. Sejak mudanya, ia telah berlaku berani menempuh hidup: sebagaimana Sayuti Melok menempelkan Ijazah AMS-nya (SMA) pada blek untuk jual dendeng, demikianlah pula Sudisman, begitu tamat HBS Surabaya tanpa ragu bersumpah di depan seorang gurunya bahwa ia tak akan menggunakan ijazah kolonial itu untuk mencari makan. Ia pun lantas terlibat dalam pengorganisiran buruh.<br />Sudisman juga dikenal sebagai organisator yang jitu dan cerdik. Seorang jurnalis Soeryono (1927-2000), yang pernah bekerja di Penghela Rakyat di Magelang dan juga anggota Pesindo menjuluki Sudisman sebagai "the King Maker" yaitu Amir Syarifuddin dan DN Aidit. Ia juga seorang intelektual yang tekun dan teliti begitulah minimal di mata Joesoef Ishak dan Joesoef pun mengenalnya sebagai orang yang rajin membawa catatan ke mana-mana, dan kebiasaannya tak lain dari mencatat apa-apa yang dikatakan lawan bicaranya. Ia tak ubahnya sebagai "kamus berjalan" yang bisa dimintai bantuannya bila seseorang lupa atau tak mampu mengingat-ingat suatu hal penting yang ingin dikemukakan.<br /><br />Sejak sebelum pecah perang kemerdekaan 1945, dia aktif di Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) bersama Amir Syarifuddin, Moh. Yamin,Wikana, A.K.Gani Pada masa Jepang, pada Januari 1943, Sudisman bersama Amir Syarifuddin dan 53 kawannya pun ditangkap. Menurut AM Hanafi, Sekretaris Jendral Barisan Pemuda GERINDO sejak masa di zaman Belanda dan masa pendudukan Jepang, Sudisman adalah Ketua Barisan Pemuda GERINDO Cabang Surabaya. Di penjara di Sragen. Kemudian bebas. Adalah pemuda Sidik Arselan, anggota Pemuda GERINDO, bekas PETA, dengan sepasukan Pemuda P.R.I. (yang ketuanya adalah Sumarsono) yang mendatangi penjara Sragen itu. Selain telah membebaskan Amir Sjarifudin dan Sudisman, mereka juga telah membebaskan semua tahanan lainnya yang ada di situ. Sudisman, menurut AM Hanafi juga, adalah anggota PKI, kadernya Pamudji yang dibunuh Jepang di penjara Sragen. Dari penilainan Hanafi, Sudisman adalah seorang yang tahu menghormati kaum Sukarnois. Karena itu sebagai pejuang Sudisman dikenal sebagai seorang nasionalis yang militan.<br />Bagaimana situasi revolusi yang bergolak itu? F.C. Fanggidaej, ketika Mengenang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke 50 menulis:<br />Kota Yogya mendidih dari semangat dan tekad juang pemuda. Pekik dan salam MERDEKA memenuhi ruang udara kota. Jalan-jalan dikuasai pemuda: kebanyakan berambut gondrong, mereka bersenjatakan pestol, senapang, brengun sampai kelewang panjang Jepang, dan sudah tentu bambu-runcing. Kepala mereka mereka ikat dengan kain merah .... Yah, semangat juang, rasa romantisme dan kecenderungan kaum muda untuk berlagak dan bergaya bercampur dengan sikap serius dan tenang dengan tekad pantang mundur yang terpancar dari mata dan wajah mereka --- itulah gambaran pemuda Indonesia Revolusi Agustus 1945. Di dalam gedung Kongres tampak pemuda-pemuda yang baru dibebaskan atau membebaskan diri dari penjara Kenpeitai Jepang Sukamiskin di Bandung, antara lain: Sudisman, Tjugito, Sukarno. Juga Sumarsono, Ruslan Wijayasastra, Soepeno dan Chaerul Saleh. Sambutan Amir Syarifuddin menggambarkan ciri khas suasana politik pada awal Revolusi. Kata Bung Amir: "Hai Pemuda, jika kamu memegang bedil di tangan kananmu, haruslah kamu memegang palu di tangan kirimu. Dan jika kamu memegang pedang di tangan kananmu, peganglah arit di tangan kirimu!"<br />Selama awal-awal revolusi fisik itu, Sudisman adalah figure pemimpin dalam organisasi para militer pemuda kiri: Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Pada tahun 1947, ketika FC Fanggidaej, hendak berangkat ke pertemuan pemuda di Praha, Sudisman sebagai Ketua Pesindo berpesan kepadanya agar dirinya hanya banyak berbicara tentang tuntutan perjuangan. Hanya tentang perjuangan dan situasi perjuangan saja. Tidak ada soal soal lain. Tentang situasi sosial, ekonomi dan sebagainya, itu semua tugas tugas negara. Tugas Pemuda satu saja: yaitu memberitakan dan menjelaskan kepada dunia luar, apa itu Republik Indonesia, apa dan kapan itu Proklamasi Kemerdekaan RI, dan mengapa rakyat Indonesia mengangkat senjata melawan Belanda dan Sekutu. Fanggidaej juga harus menyerukan ajakan dan tuntutan Republik Indonesia pada Dunia : "Stop the War!"<br />26 Februari 1948, Sayap Kiri menyelenggarakan kongres di Solo. Front Demokrasi Rakyat (FDR) pun terbentuk. Sudisman, Aidit, Njoto dan Lukman lantas mengisi Sekretariat FDR. Sejak masa sekretariat FDR inilah mulai dikenal kesatuan empat serangkai: Aidit, Lukman, Njoto, Sudisman. Di antara mereka, Sudismanlah yang paling senior. “Kekuatan baru” atau “generasi baru” begitulah keempat serangkai bersama sejumlah pemuda lain menyebut dirinya dan seterusnya akan memimpin PKI pasca peristiwa Madiun 1948 sampai dihancurkannya tahun 1965. Ditambah Ir. Sakirman, Sudisman di sidang Mahmilub tahun 1967 mengatakan: Saya dengan mereka berempat telah berpanca-kawan, artinya, berlima telah bersama-sama membangun kembali PKI sejak tahun 1951. FDR sendiri mengandalkan kekuatannya pada kaum buruh yang tergabung dalam SOBSI. Sudisman sendiri berakar kuat di kaum buruh. Di samping itu FDR juga mengandalkan kekuatan bersenjata seperti Pesindo dan simpati dari sejumlah besar perwira kunci di dalam TNI (tentara resmi Pemerintah) dan TNI-Masyarakat.<br />1 September 1948 diumumkan susunan Politbiro CC PKI yang baru. Sudisman pun memimpin departemen Organisasi. Susunan lengkapnya sendiri sebagai berikut: Sekretariat Umum: Musso, Maruto Darusman, Tan Ling Djie, Ngadiman; Departemen Buruh: Harjono, Setiadjit, Djokosudjono, Abdul Madjib, Achmad Sumadi, Departemen Tani: A.Tjokronegoro, D.N.Aidit, Sutrisno; Departemen Pemuda: Wikana dan Suripno, Departemen Wanita: sementara dipegang oleh Sekretariat Umum; Departemen Pertahanan: Amir Sjarifoeddin, Departemen Agitasi dan Propaganda: Alimin, Lukman dan Sardjono; Departemen Organisasi: Sudisman; Departemen Luarnegeri: Suripno; Departemen Perwakilan: Njoto; Departemen Daerah-Daerah Pendudukan: dipegang oleh Sekretariat Umum; Departemen Kader-Kader Partai: sementara dipegang oleh Sekretariat Umum; Departemen Keuangan: Ruskak.<br />Ketika terjadi pembersihan yang dilakukan Kabinet Hatta pada semua tokoh-tokoh penting PKI akibat peristiwa Madiun 1948, 9 orang dari total 21 orang anggota CC PKI terbunuh. Sudisman, Aidit bersama Lukman dan Nyoto berhasil lolos dari pembunuhan.<br />Sudisman juga anggota Dewan Harian Angkatan 45. Tanggal 19 Desember 1953 bersama Chaerul Saleh, A.M. Hanafi, Harjoto Judoatmodjo, Bambang Suprapto, Pandu Kartawiguna, Moh. Imamsjafi'ie (Bang Piti) dan Amir Murtono, Sudisman pun terlibat dalam persiapan Musyawarah Besar Angkatan 45 (Mubes ke-II).<br />Karenanya tak dapat disangkal, Sudisman telah memberikan hidupnya dengan berani. Sudisman pun memberikan kepada rakyat gambaran bagaimana hidup yang bertanggung-jawab dan konsisten. No Tears for Disman.</span>MANUSIA PNEUMOTOFOShttp://www.blogger.com/profile/11382854418126998614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8654011464651826918.post-3695410069880979862007-12-31T00:37:00.000-08:002007-12-31T01:21:46.351-08:00Banyak harap yang saya bentangkan untuk menghadapi 2008 delapan jam nanti. Deret list yang panjang dan doa-doa memang selalu menemani saya untuk menjalankan ritual akhir tahun yang sebenarnya omong kosong ini. Kali ini, saya merangkum itu semua dengan harapan yang tak pernah lahir pada ritual-ritual saya sebelumnya: saya berharap hujan berhenti malam ini saja...<br /><br />Ada alasan kenapa saya memilih pengharapan seperti itu. Saya ingin menikmati bulan yang timbul pada detik-detik akhir 2007. Purnama putih yang cantik juga ranum, dengan cangkok siluet yang membuatnya tampak gemuk dan sintal. Dan juga, tanpa desir-desir awan yang genit mendekatinya. Tiba-tiba saja asa ini muncul ketika siang tadi hujan lebat disertai angin kencang membasahi Yogyakarta. Saya kok merasa belakangan ini bulan seakan menjadi anak tiri langit. Diacuhkan kehadirannya. Kalaupun muncul, jatahnya untuk show off terselingi sesekali dengan pekat awan hitam pembawa hujan. Dengan hujan, semua keindahan purnama tak tertunai tuntas. Puncak keindahannya hanya dapat terasa bila langit bersih, terlebih bila banyak gugus bintang yang menggelayut disekelilingnya.<br /><br />Alasan-alasan seperti paragraf diatas itulah yang menyebabkan saya menjadi sosok yang tiba-tiba saja romantik. Begitu hebat keinginan ini sampai tadi tanpa sadar terpanjat segelintir doa dari dalam hati saya,<br /><br /> "Tuhan, kau tahu semua keinginanku. Tak perlulah ku katakan semua dan berulang-ulang. Tapi, sekali ini kumohon. Enyahkanlah hujan hari ini. Hari ini saja. Selebihnya, kau yang tentukan. Aku hanya ingin melihat purnama. Purnama Mu, Tuhan."<br /><br />Mungkin ada skenario lain yang Tuhan buat untuk saya di penghujung dan di awal tahun nanti dengan menggelar harapan seperti tadi. Entahlah, saya tak ingin bernegoisasi dengan itu semua. Biar nanti langit yang mengadili semua: hujan berhenti dan purnama muncul atau sebaliknya. Dan setelahnya, barulah saya dapat membentuk album tentang ini semua. Walau nanti ada kekenesan dalam membuka album tersebut, toh saya coba untuk tetap berpijak dan membuang jauh-jauh apa yang pernah Goenawan Mohamad sebut: amnesia sejarah.<br /><br />Ya.. Hidup memang hanya menunda kekalahan. Dan tahu bahwa ada yang tak sempat di ucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah.<br /><br />Terimakasih Chairil.<br /><br />Terimakasih 2007.MANUSIA PNEUMOTOFOShttp://www.blogger.com/profile/11382854418126998614noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8654011464651826918.post-18517635297438658392007-12-27T18:04:00.001-08:002007-12-27T18:11:31.305-08:00A, B, Dan CHE!Kawan tercinta:<br /><span style="font-family: arial;"><br />Meskipun terlambat, saya tetap berusaha menyelesaikan catatan ini dalam rangkaian perjalanan saya ke Afrika, dengan harapan bisa memenuhi janji saya. Saya akan menuliskan tema yang dinyatakan oleh judul di atas. Saya kira, itu menarik bagi para pembac a di Uruguay.<br /><br />Pendapat umum yang dilontarkan dari mulut juru bicara kaum kapitalis, dalam rangka perang ideologi menentang sosialisme, yakni bahwasanya sosialisme, atau periode pembangunan sosialisme seperti yang sedang kami laksanakan di Kuba ini, ditunjukkan oleh, penghapusan individu atas nama negara. Saya tidak akan berusaha menolak pendapat tersebut semata-mata berdasarkan argumen teoritik, melainkan dengan menunjukkan fakta-fakta sebagaimana adanya di kuba dan selanjutnya memberi tambahan komentar umum. Ijinkanlah sekarang saya memaparkan sejarah perjuangan revolusioner kami sebelum dan sesudah berhasil merebut kekuasaan.<br /><br />Sebagaimana telah diketahui, tanggal tepatnya dimulainya perjuangan revolusioner --yang mencapai puncaknya pada 1 Januari 1959--adalah tanggal 26 Juli 1953. Sebuah kelompok yang dipimpin oleh Fidel Castro menyerang barak Moncada di Propinsi Oriente pada pagi hari tanggal tersebut. Serangan itu gagal, kegagalan itu menjadi sebuah malapetaka; dan mereka yang hidup dijebloskan ke dalam penjara, dan memulai kembali perjuangan revolusioner setelah mereka dibebaskan melalui sebuah amnesti.<br /><br />Dalam proses ini, dimana yang ada baru berupa benih sosialisme, manusia merupakan faktor fundamental. Kita meletakkan kepercayaan kita padanya--individual, khas, dengan nama pertama dan akhirnya--dan kemenangan atau kegagalan missi yang dipercayakan padanya bergantung pada kapasitasnya untuk aksi.<br /><br />Selanjutnya tibalah tahap perjuangan gerilya. Perjuangan ini berkembang dalam dua lingkungan yang berbeda: rakyat, massa yang masih tertidur yang harus dimobilisasi; dan pelopornya, gerilyawan, kekuatan motor mobilisasi, pembangkit kesadaran revolusioner dan antusiasme militan. Pelopor ini merupakan agen katalisator yang membangkitkan kondisi subyektif yang diperlukan untuk memperoleh kemenangan.<br /><br />Di sini sekali lagi, dalam kerangka proletarisasi pemikiran kami, dari revolusi yang berlangsung dalam kebiasaan-kebiasaan dan pikiran-pikiran kami, individu merupakan faktor pokok. Setiap seorang pejuang dari Sierra Maestra yang mencapai jenjang atas dalam barisan kekuatan revolusioner memiliki rekor tindakan yang luar biasa. Mereka memperoleh jenjang tersebut atas dasar tindakannya itu. Inilah periode kepahlawanan pertama, dan di situ mereka harus memikul tanggung jawabnya yang amat berat, untuk tugas-tugas yang amat berbahaya, dengan tiada kepuasan lain daripada berhasil memenuhi kewajiban yang dibebankan padanya itu.<br /><br />Dalam pekerjaan pendidikan revolusioner, kami seringkali kembali ke tema-tema yang mengandung pelajaran seperti ini. Sikap pejuang kami diarahkan sebagai manusia masa depan.<br /><br />Pada bagian sejarah kami yang lain tindakan dedikasi total pada perjuangan revolusioner terus-menerus diulang. Selama krisis Oktober dan saat Hurricane Flora kami menyaksikan tindakan keberanian dan pengorbanan luar biasa yang ditunjukkan oleh seluruh rakyat. Penemuan metoda melestarikan sikap kepahlawanan ini dalam kehidupan sehari-hari, dari sudut pandang ideologis, merupakan salah satu tugas fundamental kami.<br /><br />Pada bulan Januari 1959, pemerintahan revolusioner didirikan dengan keikutsertaan berbagai anggota dari kaum borjuis pengkhianat. Keberadaan Tentara Pemberontak (selanjutnya diubah menjadi kekuatan bersenjata Revolusioner setelah kemenangan revolusi 1959, pent) sebagai faktor mendasar dari kekuatan yang mengawal revolusi.<br /><br />Kontradiksi serius mulai berkembang. Kontradiksi utama, pada bulan Februari 1959, diselesaikan ketika Fidel Castro memegang kepemimpinan pemerintahan, mengambil pos perdana menteri. Proses ini mencapai puncaknya pada bulan Juli tahun yang sama dengan mundurnya Presiden Urrutia karena tekanan massa.<br /><br />Dalam sejarah revolusi Kuba nampak jelas karakternya, watak aslinya, yang secara sistematik berulang-ulang tampil: massa<br /><br />Proses yang bersegi jamak ini bukan, sebagaimana dianggap, jumlah dari elemen-elemen dari tipe yang sama,layaknya sekumpulan domba,lebih-lebih lagi, disusutkan menjadi jenis tipe sistem yang dipaksakan dari atas. Benar adanya bahwa ia mengikuti para pemimpinannya, terutama Fidel Castro, tanpa keraguan. Namun tingkat dimana para pemimpin itu memperoleh kepercayaan sesungguhnya hasil dari ketepatan mereka menginterpretasikan keinginan dan aspirasi rakyat dalam arti utuh, dan dari perjuangan tulus untuk memenuhi janji yang dibuatnya.<br /><br />Massa berpartisipasi dalam reformasi agraria dan dalam tugas sulit mengelola perusahaan-perusahaan negara; yang juga ditunjukkan melalui pengalaman Playa Giron yang heroik itu, peperangan melawan kelompok-kelompok bandit yang dipersenjatai oleh CIA; berpartisipasi melalui salah satu keputusan yang amat penting di jaman moderen selama krisis Oktober; dan saat ini berlanjut terus bekerja demi membangun sosialisme.<br /><br />Dipandang dari luar, nampaknya mereka yang mengatakan tentang adanya subordinasi individu di bawah negara bisa benar. Massa melakukan tugas-tugas itu dengan antusiame yang tak ada bandingannya dan menjalankan tugas yang digariskan oleh pemerintah, apakah itu di bidang ekonomi, kebudayaan, pertahanan, olah raga, dsb.<br /><br />Inisiatif muncul dari Fidel atau dari komandan tinggi revolusioner dan dijelaskan kepada rakyat, yang menjadikannya sebagai miliknya. Dalam beberapa kasus, partai dan pemerintah mengambil pengalaman lokal dan menggeneralisasikannya, dengan mengikuti prosedur sama.<br /><br />Meski begitu, negara kadang-kadang membuat kesalahan. Pada saat terjadi kesalahan, yaitu nampak dari menurunnya antusiasme kolektif dikarenakan efek penurunan kuantitatif pada masing-masing elemen yang menyusun massa. Kerja menjadi lumpuh hingga mencapai penyusutan jumlah ke tingkat yang tak memadai. Saatnya harus segera membuat koreksi. Ini terjadi pada bulan Maret 1962, sebagai hasil dari kebijaksanaan sektarian yang dipaksakan pada partai oleh Anibal Escalante.<br /><br />Nyata bahwa mekanisme ini tidak cukup menjamin bagi suksesi tindakan yang bijaksana. Hubungan yang lebih berstruktur dengan massa amat dibutuhkan, dan kami harus memperbaikinya di tahun-tahun selanjutnya. Selain inisiatif yang muncul dari jajaran atas pemerintahan yang telah lakukan, kami sekarang ini menggunakan metoda intuitif yang muncul dari reaksi umum atas problem-problem besar yang kami hadapi.<br /><br />Dalam hal inilah Fidel seorang pemimpin. Cara khasnya dalam menyatukan dirinya dengan rakyat dapat ditangkap hanya dengan melihatnya dalam tindakan. Dalam rapat umum raksasa seseorang dapat mengamatinya bagai dialog antara dua garpu penala yang saling bergetar menghasilkan suara baru. Fidel dan massa mulai bergetar bersama dalam sebuah dialog yang intensitasnya makin tumbuh hingga mencapai klimaks dalam sebuah muara jeritan perjuangan dan kemenangan.<br /><br />Sesuatu yang sulit dipahami bagi seseorang yang tidak hidup melalui pengalaman revolusi adalah keeratan dialektika antara individu dan massa,dimana massa, sebagai kumpulan individu, saling berinterkoneksi dengan para pemimpinnya.<br /><br />Beberapa fenomena seperti ini memang kisa juga dilihat di bahwa kapitalisme, ketika para politisi nampak mampu memobilisasi opini umum, namun hal itu bukan sebagai gerakan sosial murni (jika benar-benar murni, maka tidak sepenuhnya benar mengatakan mereka sebagai kapitalis). Gerakan ini hanya mampu bertahan, jika orang yang itu mampu terus menjadi ispirasi bagi mereka, atau akan bertahan selama kekasaran masyarakat kapitalis terus-menerus menciptakan illusi terhadap rakyat.<br /><br />Dalam masyarakat kapitalis, manusia dikontrol oleh hukum tanpa belas kasihan yang berada di luar jangkauannya. Makhluk manusia teralienasi dan diikat menjadi sebuah masyarakat oleh sebuah jaringan korda: hukum nilai. Hukum yang berlaku atas seluruh aspek kehidupannya, yang membentuk perjalanan dan nasibnya.<br /><br />Hukum kapitalisme, yang mengelabui dan tak nampak bagi orang kebanyakan, berlaku atas individu tanpa ia menyadarinya. Ia hanya melihat keluasan horison tanpa batas di hadapannya. Inilah betapa hal itu dilukiskan oleh kaum propagandis kapitalis yang mengaku menarik pelajaran dari contoh semacam Rockeffeler --apakah benar atau tidak-- tentang kemungkinan meraih keberhasilan.<br /><br />Tumpukan kemiskinan dan penderitaan yang dipersyaratkan bagi kemunculan seorang Rockeffeler, dan tumpukan kebejatan yang dikandung dalam kekayaan seperti itu, digelapkan oleh lukisan tersebut, dan tidak selalu mungkin bagi kekuatan rakyat untuk melihat secara jernih konsep-konsep hukum kapitalisme ini.<br /><br />(Sebuah diskusi tentang bagaimana buruh di negara imperialis secara gradual kehilangan semangat internasionalisme kelas pekerjanya disebabkan hingga tingkat tertentu oleh eksploitasi terhadap negara dunia ketiga, dan pada saat yang sama bagaimana melemahnya semangat perjuangan massa di negara imperialis, bisa dikaji di sini, namun tema itu di luar sasaran pokok tulisan ini.)<br /><br />Dalam kasus apapun jalan menuju kesuksesan di masyarakat kapitalis digambarkan sebagai perjuangan dengan resiko--resiko dimana, diperlihatkan, seorang individu dengan kualitas yang baik sajalah yang dapat menghadapinya. Hadiah nampak ada di kejauhan; dan jalan untuk mencapainya penuh kesepian. Maka selanjutnya, yang berlangsung adalah persaingan diantara serigala-serigala; pemenangnya akan muncul dengan ongkos kegagalan lainnya.<br /><br />Sekarang saya akan mencoba mendefinisikan individu, aktor dalam drama yang sedang bergerak dan aneh dari pembangunan sosialisme ini, dalam keberadaan gandanya sebagai manusia unik dan sekaligus anggota dari masyarakat.<br /><br />Saya pikir tempat memulainya adalah memahami kualitas ketidaklengkapannya, sebagai produk yang belum selesai. Sisa masa lampau dibawanya hingga saat kini dalam kesadaran individu, dan sebuah kerja yang terus menerus diperlukan untuk mengikis sisa-sisa itu. Proses ini berlangsung dalam dua sisi. Di satu sisi masyarakat bertindak melalui pendidikan langsung dan tak langsung; di sisi lain, individu menyarankan diri bagi proses pendidikan sadar diri.<br /><br />Masyarakat baru yang terbentuk harus bersaing secara gigih dengan masa lalu. Masa lampau tertanam bukan hanya dalam kesadaran individu--dimana sisa sebuah pendidikan yang secara sistematik diorientasikan ke arah pemisahan individu masih sarat dikandung--namun juga melalui watak dasar dari transisi itu dimana hubungan komoditi masih bertahan. Komoditi merupakan sel ekonomi masyaraiat kapitalis. Selama ia masih ada, efeknya akan menyusup dalam organisasi produksi dan, konsekuensinya, ke dalam kesadaran.<br /><br />Marx memaparkan periode transisi sebagai hasil dari ledakan transformasi dari sistem kapitalis yang dihancurkan oleh kontradiksinya sendiri. Namun, dalam kenyataan sejarah, kita menyaksikan bahwa beberapa negara yang ikatan dahannya dengan pohon imperialisme lemah akan lepas pertama kali --sebuah fenomena yang diramalkan oleh Lenin.<br /><br />Di negara-negara itu kapitalisme telah berkembang secara cukup untuk menciptakan efek yang dirasakan oleh rakyat dengan satu atau lain cara; namun bukannya kontradiksi internal kapitalismelah yang menyeburkan semua kemungkinan, menyebabkan sistem pecah. Perjuangan untuk membebaskan diri dari penindas asing, kesengsaraan yang disebabkan oleh kejadian eksternal seperti peperangan,yang memberikan konsekuensi kelas-kelas diuntungkan menyokong kelas-kelas terhisap. gerakan pembebasan yang bertujuan menggulingkan rejim neokolonialis--inilah faktor jamak dalam melepaskan jenis eksploitasi seperti ini. Tindakan sadar bekerja sepenuhnya.<br /><br />Sebuah pendidikan lengkap bagi kerja sosial masih belum berlangsung di negara-negara yang baru membebaskan diri dari neokolonialisme itu, dan kemakmuran masih jauh dari jangkauan massa melalui proses penyerapan yang sederhana. Di satu sisi, keterbelakangan, dan biasanya larinya modal ke luar negeri, di sisi lain, transisi yang cepat tanpa pengorbanan adalah mustahi. Jalan untuk membangun basis ekonomi, dan godaan untuk sekedar tunduk pada kepentingan material sebagai ukuran kemajuan pembangunan masih teramat besar.<br /><br />Ada bahaya bahwa hutan tak akan nampak karena pohon-pohon. Impian, bahwa sosialisme dapat dicapai dengan bantuan dari peralatan tumpul yang ditinggalkan kepada kita oleh kapitalisme (komoditi sebagai sel ekonomi, laba, kepentingan materi individu sebagai ukuran, dsb.) dapat mengarahkan pada sebuah persekutuan buta.<br /><br />Dan kau akan dipusingkan di sana setelah melalui perjalanan panjang dengan banyak persimpangan, dan sulit untuk keluar dari jalan yang salah. Sementara itu, fondasi ekonomi yang telah diletakkan telah bekerja merongrong perkembangan kesadaran. Untuk membangun komunisme adalah perlu, secara simultan dengan landasan material baru, membangun manusia baru.<br /><br />Itulah sebabnya amat penting memilih instrumen yang tepat untuk memobilisasi massa. Pada dasarnya, instrumen itu harus berkarakter moral, tanpa mengabaikan, bagaimanapun juga, penggunaan secara tepat insentif materi--khususnya yang berkarakter sosial.<br /><br />Sebagaimana telah saya katakan, di saat-saat ada resiko besar adalah mudah untuk menggalang tanggapan kuat bagi rangsangan moral; Untuk memperkuat efeknya, bagaimanapun juga, mempersyaratkan perkembangan sebuah kesadaran dimana ada skala nilai baru. Masyarakat secara keseluruhan harus dibalikkan menjadi sebuah sekolah raksasa.<br /><br />Dalam pemaparan ringkas fenomena ini, adalah sama seperti proses dimana kesadaran kapitalis terbentuk dalam periode awalnya. Kapitalisme menggunakan kekuatan tapi justru itu mendidik orang akan sistem tersebut. Propaganda langsung dilakukan dengan menjelaskan keniscayaan masyarakat kelas, apakah melalui teori asal-usul takdir atau teori mekanika hukum alam.<br /><br />Pendidikan ini membodohi massa, karena mereka memandang dirinya sebagai makhluk yang ditindas oleh sebuah kekuatan jahat dimana mereka tidak mungkin menentangnya.Datanglah saatnya harapan baru untuk memperbaikinya--dan hal ini, kapitalisme berbeda dari sistem kasta yang paling awal, dimana tak ada jalan keluar yang ditawarkan.<br /><br />Bagi beberapa orang, prinsip sistem kasta akan tetap memberi efek: hadiah bagi yang taat akan diterima setelah kematian di dunia lain dimana, menurut keyakinan lama, orang baik akan diberi hadiah. Bagi orang lain ada inovasi ini: pembagian kelas ditentukan oleh takdir, namun individu dapat bangkit keluar dari kelasnya melalui kerja, inisiatif, dsb.<br /><br />Kedua ideologi ini dan mitos tentang manusia individu membentuk dirinya sendiri, jelas-jelas merupakan kebohongan: ia sudah menunjukkan dirinya, bahwa sebuah kebohongan akan adanya klas permanen adalah kebenaran.<br /><br />Dalam kasus kami, pendidikan langsung memperoleh perhatian amat besar. Penjelasannya meyakinkan karena ia benar adanya; tak ada dalih yang dibutuhkan untuknya. Ia dilakukan oleh aparat pendidikan negara sebagai fungsi umum, teknik, pendidikan ideologis melalui agen-agen seperti Menteri Pendidikan dan aparat informasi partai.<br /><br />Pendidikan diselenggarakan diantara massa dan pembentukan sikap baru diarahkan untuk menjadi sebuah kebiasaan. Massa terus-menerus membuat hal itu menjadi miliknya dan mempengaruhi lainnya yang belum mendidik diri. Inilah bentuk pendidikan tak langsung oleh massa, sebuah kekuatan lain.<br /><br />Tapi proses seperti ini harus dengan kesadaran; individu secara kontinyu merasakan impak dari kekuatan sosial baru dan memandang bahwa ia melakukannya bukan semata-mata dikehendaki oleh patokannya. Di bawah tekanan pendidikan tak langsung ia mencoba menyesuaikan diri dengan situasi yang ia rasa benar dan jika ia kurang berkembang ia akan terhambat dari pencapaian secara murni. Maka Ia mendidik dirinya.<br /><br />Dalam periode pembangunan sosialisme ini kita dapat melihat lahirnya manusia baru. Citranya belum sepenuhya rampung--dan tidak akan pernah rampung, karena proses ini akan terus berlangsung dari generasi ke generasi sesuai perkembangan bentuk-bentuk ekonomi baru.<br /><br />Di samping itu, mereka yang kurang terdidik akan memilih jalan sendirian dalam mencapai pemenuhan ambisi-ambisi pribadinya mereka ini ada--bahkan di dalam panorama baru dari kesatuan derap langkah ke depan--mereka yang memiliki kecenderungan berjalan memisahkan diri dari massa yang menyertainya. Namun, yang penting adalah bahwa setiap hari orang memperoleh lebih banyak kesadaran akan kebutuhan untuk senantiasa beriringan di dalam masyarakat dan, pada saat yang sama, pentingnya berperan sebagai motor masyarakat itu.<br /><br />Mereka tidak lagi sepenuhnya sendirian dan kehilangan petunjuk mencapai aspirasi di kejauhan. Mereka mengikuti pelopornya, yang terdiri dari partai, buruh-buruh yang sudah maju, manusia-manusia maju yang berjalan dalam kesatuan dengan massa dan dalam kerukunan yang erat dengan mereka. Pelopor mengarahkan pandangannya ke masa depan, namun bukan pandangan dari individu. Buahnya adalah sebuah masyarakat baru dimana manusia tidak akan memiliki perbedaan derajat: masyarakat manusia komunis.<br /><br />Jalan ke arah sana panjang dan penuh kesulitan. Ada kalanya kita kehilangan arah dan harus kembali; Di saat lain kita terlalu cepat dan terpisah dari massa. Kadang-kadang kita terlampau lamban dan merasa hanya berjalan ditempat saja. Dalam semangat kita sebagai revolusioner kita mencoba bergerak maju secepatnya, membersihkan jalan. Namun kita tahu kita harus memelihara diri kita agar dekat terus dengan massa dan hal itu dapat dicapai lebih cepat hanya bilamana kita mengilhaminya dari contoh-contoh yang kita berikan.<br /><br />Meski betapa penting adanya stimuli moral, kenyataan masih adanya pembagian ke dalam dua kelompok utama (tentu saja, di luar kaum minoritas yang karena satu dan lain alasan tidak berpartisipasi dalam pembangunan sosialisme) menunjukkan jarak relatif dari perkembangan kesadaran sosial.<br /><br />Kelompok pelopor secara ideologis lebih maju dari massa; massa memahami nilai-nilai baru, tapi tidak secara memadai. Sementara pelopor sudah ada perubahan kualitatif yang memungkinkannya membuat pengorbanan sesuai kapasitasnya sebagai pelopor yang maju, massa hanya melihat sebagai gambar dan masih harus diberi rangsangan dan didorong terus hingga mencapai intensitas tertentu. Di sinilah kediktatoran proletariat bekerja, bukan hanya mendidik kelas yang telah dikalahkan (burjuis) tetapi juga individu-individu dari kelas yang menang (proletariat dan kelas tertindas lainnya).<br /><br />Semua itu berarti bahwa keberhasilan menyeluruh dari serangkaian mekanisme dari lembaga-lembaga revolusioner, dibutuhkan. Sejalan dengan citra derap langkah maju ke masa depan menghasilkan konsep institusionalisasi sebagai sebuah keselarasan seperangkat saluran, langkah, pengendalian, dan minyak pelumas mekanisme yang memudahkan langkah maju, yang memfasilitasi seleksi alam dari mereka yang melangkah menuju masa depan bersama pelopor, dan pemberian hadiah bagi mereka yang memenuhi kewajiban dan hukuman bagi mereka yang melakukan kejahatan menentang masyarakat yang sedang dibangun.<br /><br />Institusionalisasi revolusi itu masih belum tercapai. Kita mencari sesuatu yang baru yang memperlancar identifikasi total diantara pemerintah dan komunitas secara keseluruhan, sesuatu yang layak untuk kondisi khusus dalam pembangunan sosialisme; sementara itu menghindarkan dengan sungguh-sungguh untuk mencangkokkan demokrasi burjuis--seperti dewan legislatif, misalnya--ke dalam masyarakat yang sedang dalam pembentukan.<br /><br />Beberapa eksperimen yang ditujukan untuk pelembagaan secara gradual dari revolusi telah dilakukan, namun tanpa grusa-grusu. Pengereman masih harus sering dilakukan; jika tidak, maka akan nampak formalitas yang bisa memisahkan kita dari massa dan dari individu, yang akan membuat kita kehilangan pandangan pokok dan aspirasi revolusioner yang paling penting: menemukan manusia terbebaskan dari keterasingannya.<br /><br />Meskipun kekurangan institusi, yang harus diatasi secara gradual, massa sekarang sedang membuat sejarah sebagai kumpulan individu berkesadaran yang berjuang demi tujuan yang sama. Manusia di bawah sosialisme, meskipun penampakannya distandarisasi, jauh lebih lengkap. Meskipun kekurangan mekanisme sempurna untuk itu, peluangnya untuk mengekspresikan dirinya dan membuat dirinya merasa dalam organisme sosial jauh lebih besar.<br /><br />Ini masih perlu untuk memperdalam kesadaran partisipasinya, individu dan kolektif, di semua mekanisme manajemen dan produksi, dan untuk mengikatkan hal ini dengan ide kebutuhan terhadap teknik dan pendidikan ideologis, sehingga ia melihat bagaimana saling keterkaitan proses-proses itu dan bagaimana kemajuan mereka adalah paralel. Dalam cara ini ia akan mencapai kesadaran total makhluk sosialnya, yang ekivalen untuk realisasi penuhnya sebagai makhluk manusia, dan pada saat itu rantai keterasingan telah diputuskan.<br /><br />Ini harus diterjemahkan secara kongkret melalui kerja bebas dan ekspresi dari kondisi kemanusiaannya sendiri melalui kebudayaan dan seni.<br /><br />Untuk itu, kerja harus memperoleh sebuah kedudukan baru. Manusia sebagai sebuah komoditi harus diakhiri, dan sebuah sistem perlu dijalankan yang menetapkan sistem kuota sebagai bentuk pemenuhan kewajiban sosialnya. Alat produksi dimiliki masyarakat, dan mesin hanyalah saluran melalui mana kewajiban dipenuhi. Manusia mulai melepaskan pikiran yang mengganggu: kenyataan bahwa kerja dibutuhkan untuk memuaskan kebutuhan hewaninya.<br /><br />Ia mulai memandang dirinya tercermin dalam kerjanya dan memahami kedudukan penuhnya sebagai makhluk manusia melalui obyek yang diciptakan, melalui kerja yang diselesaikan. Kerja bukan lagi menuntut penyerahan sebagian dari kemanusiannya dalam bentuk tenaga kerja yang harus dijual, yang mana bukan lagi menjadi miliknya, melainkan merepresentasikan pengungkapan dirinya ke luar, sebuah sumbangan bagi kehidupan bersama dimana ia diwakili di situ, sebuah pemenuhan kewajiban sosialnya.<br /><br />Kita melakukan segala sesuatu yang mungkin untuk memberikan kerja sebuah status baru berupa kewajiban sosial dan mengkaitkannya di satu sisi dengan perkembangan teknologi. yang akan menciptakan kondisi bagi kebebasan yang lebih besar, dan di sisi lain dengan kerja sukarela berdasarkan pengertian Marxist bahwa manusia akan mencapai kondisi kemanusiaannya secara sejati bilamana ia berproduksi tanpa dipaksa oleh desakan kebutuhan fisiknya dimana ia harus menjual dirinya sebagai komoditi.<br /><br />Tentu saja, masih ada faktor lain bahkan ketika kerja merupakan kerja sukarela. Manusia belum mentransformasikan faktor paksaan yang melingkupi dirinya ke dalam refleks-refleks terkondisi dari sebuah watak sosial, dan dalam beberapa kasus ia masih berproduksi di bawah tekanan lingkungan. (Fidel menyebutnya tekanan moral.)<br /><br />Ia masih harus menderita untuk melengkapkan kelahiran kembali semangat terhadap kerjanya,ter bebaskan dari tekanan langsung lingkungan sosialnya, walaupun mengkaitkannya melalui kebiasaan-kebiasaan barunya. Dengan demikianlah akan terbentuk komunisme.<br /><br />Perubahan kesadaran tidak berlangsung secara otomatis sebagaimana halnya ekonomi tidak berubah secara otomatis. Perubahannya perlahan dan tidak ritmis, ada periode kemajuan (akselerasi) kadang amat lamban, dan bahkan mengalami kemunduran.<br /><br />Lebih lanjut kita musti ingat, sebagaimana saya nyatakan sebelumnya, bahwa kita tidak membahas periode transisi belaka, sebagaimana telah Marx nyatakan dalam "Critique of the Gotha Program" nya, namun lebih berkenaan dengan sebuah fase baru yang tidak diramalkannya: sebuah periode awal transisi menuju komunisme, atau periode pembangunan sosialisme. Periode yang kita bicarakan ini berlangsung di tengah-tengah perjuangan kelas dengan kekerasan, dan dengan elemen-elemen kapitalisme di dalamnya yang mengaburkan pemahaman esensinya.<br /><br />Bilamana kita menambahkan di sini skolastikisme yang hendak melacak ke belaiang perkembangan filsafat Marxist dan mendesakkan perlakuan sistematik dari periode transisi, dimana ekonomi politik belum berkembanq, kita musti menerima bahwa kita masih dangkal dan perlu mencurahkan diri untuk menggali semua karakteristik prinsipiil dari periode tersebut sebelum mengelaborasi sebuah teori politik dan ekonomi dalam ruang lingkup yang lebih besar.<br /><br />Menghasilkan teori akan, tak ragu lagi, menempatkan tekanan besar pada dua pilar konstruksi sosialisme: pendidikan manusia baru dan perkembangan teknologi. Banyak yang masih harus dikerjakan dalam dua hal ini, dan kelambatan dalam konsep teknologi sebagai landasan ekonomi harus segera dikejar meskipun jalan ke arah itu sudah dibuka sebelumnya oleh negara-negara yang lebih maju. Itulah sebabnya mengapa Fidel dengan lantang menyerukan pentingnya pendidikan teknologi dan ilmu pengetahuan bagi rakyat kami dan khususnya para pelopornya.<br /><br />Dalam bidang ide yang tidak mengarah pada aktivitas yang mencakup pelibatan produksi, lebih mudah melihat pembagian antara kebutuhan spiritual dan material. Sudah sekian lamanya manusia berusaha membebaskan dirinya dari keterasingan melalui kebudayaan dan seni. Sementara itu ia mati setiap hari selama delapan jam atau lebih karena ia berfungsi sebagai komoditi, ia berusaha menghidupkan dirinya kembali melalui kreasi spiritualnya.<br /><br />Namun obat ini melahirkan kuman penyakit yang sama pula: ia merupakan individu tersendiri yang mencari keselarasan dengan lingkungannya. Ia mempertahankan individualitasnya yang ditindas dan bereaksi pada ide-ide estetika sebagai makluk unik yang aspirasinya tetap tak ternoda(untarnished.<br /><br />Itu tidak lebih dari usaha melarikan diri. Hukum nilai bukan lagi sebuah refleksi hubungan produksi yang sederhana: Monopoli kapitalis--bahkan dengan menggunakan metoda empiris murni-- mengepung seni tersebut dengan jaring yang ruwet yang membuatnya menjadi sekedar alat belaka. Superstruktur menuntut sejenis seni dimana artis harus dididik di dalamnya. Pemberontak ditundukkan oleh mesin, dan hanya bakat-bakat pengecualian saja yang bisa menciptakan karyanya sendiri. Sebagian besar lainnya menjadi orang sewaan yang malu-malu atau akan dihancurkan.<br /><br />Sekolah "kebebasan" artistik diciptakan, namun nilainya terbatas hingga kita berbenturan dengannya--dengan kata lain, hingga problem riil manusia dan keterasingannya muncul. Kegusaran yang tak karuan juntrungannya atau hiburan-hiburan vulgar menjadi katup pengaman bagi kegelisahan manusia. Ide tentang penggunaan seni sebagai senjata protes mulai diperjuangkan.<br /><br />Mereka yang bermain sesuai dengan aturan yang ada ditaburi dengan penghargaan-penghargaan-- seperti halnya seekor kera yang bisa menari. Kondisi yang diciptakan (impose) adalah bahwa seseorang tidak bisa menghindar dari sangkar yang tidak nyata itu.<br /><br />Ketika revolusi mengambil kekuasaan, banyak terjadi eksodus dari mereka yang selama ini tidak pernah patuh sepenuhnya pada aturan main yang ada; sebagian besar --apakah mereka kaum revolusioner atau bukan-- melihat ada jalan baru yang terbentang. Penggalian artistik mengalami impuls baru. Jalan, bagaimanapun juga, kurang lebih telah diletakkan, dan konsep eskapis menyembunyikan dirinya dibalik kata 'kebebasan'. Sikap ini seringkali ditemukan bahkan diantara kaum revolusioner sendiri, sebagai sebuah refleksi idealisme burjuis di dalam kesadaran mereka.<br /><br />Di negara-negara yang melangkah melalui proses yang serupa, ada yang berusaha memerangi kecenderungan ini dengan dogmatisme yang berlebih-lebihan. Kebudayaan umum sebetulnya sebuah tabu, dan puncak aspirasi kebudayaan disebut gambaran alam secara formal. Reprentasi ini ditransformasikan menjadi sebuah representasi mekanis dari kenyataan sosial yang ingin mereka tunjukkan: masyarakat ideal, hampir tanpa konflik atau kontradiksi, dimana mereka berusaha ciptakan.<br /><br />Sosialisme masih muda dan memiliki banyak kesalahan. Kami kaum revolusioner sering kekurangan pengetahuan dan keberanian intelektual yang dibutuhkan untuk memenuhi tugas membangun manusia baru dengan metoda baru yang berbeda dengan metoda konvensional dan metoda-metoda konvensional korban dari pengaruh masyarakat yang menciptakannya.<br /><br />(Sekali lagi tema hubungan antara bentuk dan isi kemanusiaan.)<br /><br />Disorientasi meluas dan kami disibukkan oleh masalah-masalah konstruksi material. Tak ada seniman (artists) dengan otoritas besar yang pada saat bersamaan memiliki otoritas revolusioner besar. Anggota Partai harus mengambil tugas ini dan berusaha mencapai tujuan utama, mendidik rakyat.<br /><br />Apa yang diusahakan selanjutnya adalah penyederhanaan. Sesuatu yang dapat dipahami oleh setiap orang, sesuatu yang dapat dipahami para fungsionaris. Penggalian artistik murni diakhiri, dan masalah kebudayaan umum disusutkan untuk mengambil beberapa hal dari kehadiran sosialis dan beberapa lainnya dari masa lampau yang telah mati (karena itu, tidak berbahaya). Jadi realisme sosialis muncul atas dasar seni abad lampau.<br /><br />Namun seni realistik abad ke sembilan belas juga memiliki watak kelas, mungkin kapitalis yang lebih murni daripada seni dekaden abad-ke dua puluh ini yang menampilkan kegusaran manusia terasing. Dalam bidang kebudayaan, kapitalisme telah memberikan semua yang harus ia berikan, dan tak ada yang tersisa kecuali bau busuk bangkainya, dekadensi seni-nya dewasa ini.<br /><br />Namun mengapa berusaha menemukan hanya resep-resep handal dalam bentuk-bentuk Realisme Sosialis yang telah beku? Kita tidak dapat memamerkan 'kebebasan' realisme sosialis, karena ia belum ada dan tidak akan ada hingga perkembangan penuh dari masyarakat baru. Namun kita tidak dapat, dari penghitungan seluruh beaya realisme, menghujat semua bentuk seni sejak paruh pertama abad ke sembilan belas, karena kita akan jatuh ke dalam kesalahan kembali ke masa lampau ala Proudhon, dengan menutup ekspresi artistik dari manusia yang sedang lahir dalam proses pembentukan diri.<br /><br />Apa yang dibutuhkan adalah pengembangan sebuah mekanisme kebudayaan-ideologis yang mengijinkan baik penggalian bebas dan pembersihan rumput-rumput liar yang sedimikian mudahnya tumbuh di atas tanah yang telah dipupuk oleh tunjangan negara.<br /><br />Di negeri kami kekeliruan realisme mekanis tidak nampak, tetapi lebih nampak lawannya. Dan hal tersebut demikian karena kebutuhan untuk menciptakan pembentukan manusia baru belum dipahami, manusia baru yang bukan menggambarkan ide abad ke sembilan belas maupun ide abad kita yang dekaden dan tak sehat ini.<br /><br />Apa yang harus kita ciptakan adalah manusia abad ke dua puluh satu, walaupun ini masih aspirasi subyektif, belum disistematisasikan. Sesungguhnya inilah salah satu sasaran fundamental studi dan pekerjaan kita. Untuk tingkat keberhasilan konkret yang kita capai pada perencanaan teoritik--atau, sebaliknya, pada tingkat kesimpulan teoritik yang kita tarik dari karakter luas atas dasar riset kongkret kita --kita pasti akan membuat sumbangan bernilai bagi Marxisme-Leninisme, demi kemanusiaan.<br /><br />Dengan bereaksi menentang manusia abad ke sembilan belas kita masuk ke dalam dekadensi abad ke dua puluh; itu bukanlah kesalahan telak, namun kita harus mengikisnya agar kita tidak terperosok ke dalam revisionisme.<br /><br />Penumpukan terus berkembang; ide baru memperoleh momentum bagus di dalam masyarakat. Peluang-peluang material bagi perkembangan kesatuan seluruh anggota masyarakat membuat tugas membuahkan lebih banyak buahnya. Masa kini adalah masa perjuangan; masa depan merupakan milik kita.<br /><br />Ringkasannya, kesalahan kebanyakan artis dan intelektual kita terletak dalam dosa asal mereka: mereka bukan revolusioner sejati. Kita bisa saja menggosok-gosok pohon elm hingga menghasilkan pohon pears, namun pada saat yang sama kita musti menanam pohon pear. Generasi baru akan lahir terbebas dari dosa asal. Kemungkinan-kemungkinan bahwa seniman-seniman besar akan muncul harus lebih besar lagi hingga ke tingkat dimana bidang kebudayaan dan kemungkinan-kemungkinan untuk ekspresi diperluas.<br /><br />Tugas kita adalah menjaga generasi sekarang, diguncang oleh konflik-konfliknya, dari kemurtadan dan dari pembelotan generasi baru. kita tidak hendak menciptakan hamba-hamba pikiran resmi yang dungu, atau 'siswa-siswa bea-siswa' yanq hidup atas beaya negara --mempraktekkan " kebebasan" yang mengekor saja. Kaum revolusioner masa depan akan menyanyikan lagu manusia baru dengan suara murni dari rakyat. Ini merupakan proses yang membutuhkan waktu.<br /><br />Dalam masyarakat kami, kaum-muda dan Partai memainkan peran besar.<br /><br />Kaum muda penting karena ia merupakan tanah liat yang lentur dan mudah dibentuk-dari mana manusia baru dapat dibangun tanpa ada bekas-bekas lama. Kaum muda dapat dibentuk sesuai dengan aspirasi-aspirasi kami. Pendidikan mereka setiap hari semakin lengkap, dan kami tidak mengabaikan integrasi kami ke dalam kerja sejak awal. Mahasiswa-mahasiswa beasiswa kami melakukan kerja fisik selama musim libur mereka atau selama waktu belajar mereka. Dalam beberapa kasus kerja merupakan hadiah, cara pendidikan lain, namun ia tidak pernah merupakan hukuman. Sebuah generasi baru sedang dilahirkan.<br /><br />Partai merupakan organisasi pelopor. la terdiri dari buruh buruh yang terbaik, yang pengajuan keanggotaannya dilakukan oleh kawan-kawan sekerjanya. Partai adalah golongan minoritas, namun memiliki otoritas yang besar karena kualitas kadernya. Aspirasi kami adalah bahwa partai menjadi sebuah partai massa, namun hanya ada saat massa telah mencapai tingkat pelopor. Yakni, ketika massa terdidik bagi komunisme.<br /><br />Kerja kami secara konstan bertujuan pada pendidikan ini. Partai merupakan contoh hidup; kader-kadernya harus diajari kerja keras dan berani berkorban. Melalui tindakan mereka, mereka harus mengarahkan massa untuk melengkapi tugas-tugas revolusioner, dan ini mencakup tahun-tahun perjuangan keras melawan kesulitan-kesulitan pembangunan, musuh-musuh kelas, penyakit-penyakit masa lampau, imperialisme...<br /><br />Sekarang, saya hendak menjelaskan peranan yang dimainkan oleh individu, oleh manusia sebagai individu di dalam massa yang membuat sejarah. Ini adalah pengalaman kami; ini bukanlah resep.<br /><br />Fidel memberikan impuls-impuls revolusi di tahun-tahun pertama, dan juga kepemimpinannya. Ia selalu mengatur nadanya. Selain itu terdapat sekelompok kaum revolusioner yang tumbuh di atas jalan yang sama sebagai pimpinan pusat. Dan ada massa besar yang mengikuti pemimpinnya, karena yakin terhadap pemimpinnya.<br /><br />Massa memiliki kepercayaan kepada pemimpinnya karena pemimpin itu mengetahui bagaimana menginterpretasikan aspirasi massa.<br /><br />Tak jadi soal, berapa kilogram makanan yang seseorang harus makan, ataupun berapa kali dalam satu tahun seseorang pergi ke pantai, atau berapa banyak barang-barang bagus dari luar negeri yang bisa kau beli dengan uang yang kau peroleh dari gajimu saat ini; Persoalannya adalah membuat individu merasa lebih komplet, dengan kesempurnaan internal dan tanggung jawab yang lebih besar.<br /><br />Individu di negeri kami mengetahui bahwa saat-saat mulia yang terjadi dalam hidupnya adalah saat pengorbanan; kami akrab dengan pengorbanan. Mereka yang pertama kali akrab dengan pengorbanan adalah para pejuang di Sierra Maestra dan selanjutnya juga di tempat-tempat lainnya, barulah setelah itu seluruh Kuba mengetahuinya. Kuba merupakan pelopor Amerika Latin dan harus membuat pengorbanan karena ia menduduki posisi garda terdepan, karena ia mengajarkan pada massa Amerika Latin jalan menuju kebebasan penuh.<br /><br />Di dalam negeri, kepemimpinan menjalankan peran pelopornya. Dan harus dikatakan di sini dengan setulus-tulusnya bahwa dalam sebuah revolusi riil, dimana seseorang memberikan seluruh miliknya dan dari mana seseorang tidak mengharapkan hadiah materi darinya, tugas dari revolusioner pelopor adalah indah dan sekaligus penuh penderitaan.<br /><br />Dengan resiko nampak sebagai hal yang ganjil, ijinkanlah saya mengatakan bahwa revolusioner sejati senantiasa dibimbing oleh perasaan kecintaan yang dalam. Adalah mustahil membayangkan seorang revolusioner sejati yang tidak memiliki kualitas ini. Agaknya inilah drama terbesar dari seorang pemimpin yang harus menggabungkan semangat yang menyala-nyala dengan intelegensi dingin dan membuat keputusan-keputusan yang berat dan menyakitkan tanpa menghindarinya. K kaum pelopor revolusioner kami harus membuat ideal kecintaan pada rakyat ini, pada sebab-sebab pengorbanan, membuatnya satu dan tak bisa ditawar-tawar lagi. Mereka tidak bisa kurang dari persyaratan itu, yaitu dengan kadar kecintaan yang dangkal, setingkat mana manusia biasa menempatkan cintanya ke dalam prakteknya.<br /><br />Pemimpin revolusi memiliki anak-anak yang baru mulai bisa bicara, yang tidak belajar memanggil ayahnya dengan nama; mereka memiliki istri atau suami yang merupakan bagian dari pengorbanan hidupnya dalam rangka memilih revolusi sebagai takdirnya; Lingkaran kawan-kawannya secara ketat dibatasi pada lingkaran kawan-kawan revolusi. Tidak ada kehidupan lain di luar itu.<br /><br />Dalam keadaan seperti ini seseorang harus memiliki kadar kemanusiaan yang tinggi, kadar rasa keadilan dan kebenaran yang tinggi agar tidak jatuh ke dalam dogmatisme ekstrem, ke dalam cara pandang sekolahan yang dingin, keterasingan dari massa. Kita harus berusaha secara gigih sedemikian rupa setiap hari sehingga cinta kemanusiaan kita ditransformasikan ke dalam tingkah laku nyata, ke dalam tindakan yang menunjukkan contoh-contoh, sebagai kekuatan penggerak.<br /><br />Revolusioner, kekuatan motor ideologis dari revolusi di dalam partai kita, dijejali oleh tugas-tugas yang tanpa henti-hentinya muncul dan hanya berakhir dengan kematian, terkecuali jika pembangunan sosialisme skala dunia telah rampung. Bila semangat revolusioner telah tumpul pada saat tugas-tugas yang amat mendesak harus dirampungkan di skala lokal dan ia mengabaikan tentang internasionalisme proletariat, maka revolusi sebagai kekuatan pendorong akan menjadi mandeg dan terperosok ke dalam keloyoan dimana imperialisme, musuh kita yang tak bisa ditawar-tawar lagi, akan memanfaatkannya guna memperoleh pijakannya. Internasionalisme proletariat merupakan sebuah kewajiban, namun ia juga merupakan kebutuhan revolusioner. Beginilah cara kami mendidik rakyat kami.<br /><br />Tentu saja ada bahaya di dalam situasi sekarang ini, dimana bukan hanya berupa dogmatisme, bukan hanya mengendurnya ikatan dengan massa, di tengah-tengah tugas berat. Bahaya yang lain adalah kelemahan yang ada pada diri kami sendiri. Seandainya seseorang berpikir hendak mengabdikan keseluruhan hidupnya bagi revolusi maka ini berarti bahwa ia tidak akan terganggu oleh kekhawatiran seperti anak-anaknya akan kekurangan atau kehilangan sesuatu, bahwa sepatu anaknya telah usang dan robek dan harus segera diganti, bahwa keluarganya kekurangan dan butuh akan barang-barang tertentu, dimana demi memenuhi kekurangan-kekurangan itu ia menyediakan dirinya dimasuki oleh kuman-kuman tindak korupsi.<br /><br />Dalam hal seperti itu kami, sebagai revolusioner pelopor, harus memandang bahwa anak-anak kami harus dibiasakan dan diajak untuk tidak memiliki sesuatu barang jika anak-anak dari rakyat umumnyapun tidak memiliki barang seperti itu, dan keluarga kita harus memahami hal ini dan hidup dengan cara seperti ini. Revolusi tercipta melalui manusia, namun manusia harus mengasah semangat revolusionernya hari demi hari.<br /><br />Beginilah cara kami melangkah. Di ujung tiang pokok –kita tak perlu malu atau takut menyatakannya-- adalah Fidel Castro. Di belakangnya adalah kader-kader partai terbaik, dan di belakang mereka, sedemikian dekatnya mereka sehingga kita bisa merasakan kekuatan dahsyatnya, muncullah rakyat dengan keseluruhannya, sebuah struktur yang kukuh dari individu-individu yang bergerak menuju tujuan sama, individu-individu yang memperoleh kesadaran tentang apa yang harus dilakukan, manusia yang berjuang untuk menghindar dari kenyataan keterpaksaan dan memasuki kebebasan.<br /><br />Kumpulan manusia (great throng) yang begitu besar ini mengorganisasi dirinya; organisasinya merupakan hasil dari kesadarannya terhadap perlunya organisasi itu. Ia bukan lagi merupakan kekuatan yang terpecah-pecah, terbagi-bagi ke dalam ratusan gumpalan yang terlempar ke udara bak pecahan granat, yang mencoba segala macam cara untuk mencapai perlindungan dari sebuah masa depan tak jelas, dalam sebuah pertarungan sengit dengan kawan-kawannya sendiri.<br /><br />Kita mengetahui bahwa pengorbanan ada dihadapan kita dan kita harus membayar sebuah harga demi fakta heroik dimana kita? sebagai sebuah bangsa, merupakan pelopor kita, sebagai pemimpin, mengetahui beaya yang harus kita bayar demi hak untuk menyatakan bahwa kita adalah pemimpin rakyat yang pemimpin benua Amerika Latin. Masing-masing dari kita harus membayar secara penuh jatah pengorbanan kita, makhluk yang memiliki kesadaran bahwa hadiah yang kita terima tak lain merupakan kepuasan bila mampu memenuhi kewajiban, kesadaran maju bersama dengan setiap orang menuju manusia baru yang nampak di cakrawala.<br /><br />Ijinkanlah saya menarik beberapa kesimpulan:<br />Kami kaum sosialis, lebih bebas karena kami lebih lengkap, kami lebih lengkap karena kami lebih bebas.<br />Kerangka kebebasan menyeluruh kami telah terbentuk. Daging dan bajunya masih belum ada, kita akan menciptakannya.<br />Kebebasan kami dan topangannya sehari-hari kami bayar dengan darah dan pengorbanan kami.<br />Pengorbanan kami disadari: beaya yang harus dibayar bagi kebebasan yang sedang kami bangun.<br />Jalan ini panjang dan sebagian tidak kita ketahui kami menyadari keterbatasan kami, kami akan menciptakan manusia abad ke dua puluh satu--kami, diri kami.<br />Kami akan menempa diri kami dalam tindakan sehari-hari; menciptakan manusia baru dengan teknologi baru.<br />Individu memainkan peranan dalam memobilisasi dan mengarahkan massa sepanjang ia memiliki kebajikan yang amat tinggi dan aspirasi tentang rakyat dan tidak menyeleweng dari jalur.<br />Untuk membersihkan jalan dilakukan oleh kelompok pelopor, yang terbaik dari segalanya, yaitu Partai.<br /><br />Basis sasaran (basic clay)dari pekerjaan kami adalah pemuda. Kami menempatkan harapan kami pada mereka dan mempersiapkan mereka mengambil panji-panji dari tangan kami.<br /><br />Jika surat yang penuh kekurangan ini (inarticulate letter) menjelaskan sesuatu berarti dia menunjukkan obyektivitas yang mendasarinya. Aku tutup dengan salam kita--sebagaimana kebiasaan jabat tangan atau satu <strong>"Ave Maria Purissima"--</strong>Tanah Air atau Mati!<br /><br />* * * * * *<br /><br /><br /></span><div style="font-family: georgia;" align="justify"><em><strong>Artikel ini di tulis dalam bentuk sebuah surat yang ditujukan kepada Carlos Quijano, editor Marcha, majalah mingguan independen yang radikal di Montevideo, Uruguay. Guevara menulisnya saat dalam perjalanan ke luar negeri selama tiga bulan, saat mana ia berpidato di sidang umum perserikatan bangsa-bangsa dan mengunjungi sejumlah negara di Afrika. Artikel ini dipublikasikan, pada tanggal 12 Maret 1965 di majalah Marcha, dan tanggal 11 April 1965 di majalah Verde Olivo</strong></em>.<br /><br />* * * * * *<br /><br />...Dan kita tahu, kini melenggang kedalam kubah mode superkapitalisme musim panas dengan harga jual yang rendah, dan martabat yang hangus..<br /><br />Untukmu Che..<br /></div>MANUSIA PNEUMOTOFOShttp://www.blogger.com/profile/11382854418126998614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8654011464651826918.post-27792922560832297152007-12-27T03:00:00.000-08:002007-12-27T07:47:29.125-08:00For Being and Not to Being an AtheisSering saya meminggirkan khayal untuk menjadi seorang bapak nantinya. Berumah tangga. Mengurus bayi dan menjadi mertua. Apa iya sepanjang itu? Dan kini, tepatnya sore tadi khayal itu datang menyerbu. Saya tak bisa menyanggahnya kali ini: saya memang membutuhkan khayalan seperti itu. Setidaknya sekali-kali.<br /><br />+ + + +<br /><br />27 Desember 2007. Ini lusa setelah Yesus, Putra Allah mati. Suara-suara gemerlap dari katedral-katedral kapitalisme pun bersahutan. Santa Klaus terjerembab dengan rusa-rusanya. Tapi, tak satu pun orang meratapi bencana yang kian mesra dengan kita. Keakbaran Tuhan kini dipertaruhkan lewat pertarungan identitas. Sang Atheis muncul untuk kemudian berpendar.<br /><br />Christopher Hitchens memberi kita kabar ini lewat bukunya yang terbit dengan judul God Is Not Great: Religion Poisons Everything. Ia senada dengan Marx: Agama itu racun, atau dalam kamus Marxisme, Agama Itu Candu. Dan ia tak berjalan sendiri. 2004 lalu juga terbit buku berjudul Letter to a Christian Nation oleh Sam Harris, buku yang memaktubkan semua serangannya terhadap Kristen. Atheis pelatah lainnya pun tak ingin ketinggalan. Richard Dawkins, seorang pakar biologi, menerbitkan The God Delusion, yang mengutip satu kalimat pengarang lain: ”Bila seseorang menderita waham, gejala itu akan disebut gila. Bila banyak orang menderita waham, gejala itu akan disebut agama.”<br /><br />Belum pernah saya membaca bukunya. Saya hanya tahu dari mulut ke mulut, dan artikel-artikel yang terlampir di internet. Tapi, saya sudah terlanjur membayangkan isinya. Kenapa manusia bisa sampai tak ber-Tuhan? Apa yang salah dengan agama?<br /><br />Ayat-ayat suci selalu mengajarkan kita tentang kebenaran. Tentang iblis yang wajib dimusnahkan. Sampai pada abad sekarang, di mana iman coba dihadirkan lewat rasio dan ketakutan, ayat-ayat tersebut tak ikut surut. Sakralitas yang terpendar tetap sama. Lagi-lagi, ada apa Tuhan?<br /><br />Sang Atheis-Atheis itu serentak datang belakangan ini. Dengan mata bedil analisa yang siap membedah, mereka menyeruak, menghimpun kekuatan untuk mendistorsikan setiap agama. Dan mereka menang. Walau sementara, tapi mereka berhasil meludahi berlembar-lembar aya-ayat suci tersebut dalam kurun waktu yang terkira. Iman yang bersumber dari ketakutan ialah kebencian. Dan inilah yang jadi petuah agung setiap pelaku terorisme. Damai dunia runtuh karenanya. Tuding, bunuh, bakar, menjadi barang instan yang wajib dicerna karena sosok-sosok pengecut itu.<br /><br />Tapi, khayal saya ternyata punya dimensi lain. Sepertinya dunia memang membutuhkan Para Atheis-Atheis tadi. Seakan mereka adalah nalar tujuan manusia untuk memupuskan rasa benci. Agama memang tak menawarkan sekantung emas yang terjun bebas dari langit. Atheis berkebalikan. Mereka mengenyahkan semua omong kosong Tuhan. Langit dikepal. Dan sumpah serapah agama menjadi ayatnya.<br /><br />Agama adalah ”sebuah pengganda besar”, an enormous multiplier, ”kecurigaan dan kebencian antarpuak”. Dari sini, perlahan kesalahan demi kesalahan mengalir dari apologi yang terkenal itu: bukan agamanya yang salah, tapi manusianya. Menjadi: bukan manusianya yang salah, tapi agamanya. Dan permasalahan terhenti (sementara) sampai di titik tersebut: agama ternyata tak cukup canggih untuk memberikan penyangga bagi keserakahan manusia.<br /><br />+ + + +<br /><br />Saya tetap bersinggungan dengan khayal-khayal saya untuk menjadi seorang bapak. Menggurui kenyataan, bahwa manusia memang pantas untuk tak ber-Tuhan.<br /><br />Semoga khayal saya berhenti sampai di sini.MANUSIA PNEUMOTOFOShttp://www.blogger.com/profile/11382854418126998614noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8654011464651826918.post-24738132367858176202007-12-26T20:07:00.000-08:002007-12-26T22:22:01.868-08:002007Ada yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_0">aneh</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_1">pada</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_2">tahun</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_3">ini</span>.<br /><br /><span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_4">Malam</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_5">tadi</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_6">bulir</span>-<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_7">bulir</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_8">hujan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_9">begitu</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_10">syahdu</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_11">memayungi</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_12">Gelap</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_13">langit</span> pun <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_14">begitu</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_15">lamat</span>. Dan <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_16">angin</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_17">datang</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_18">dengan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_19">dingin</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_20">melata</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_21">Saya</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_22">tak</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_23">ingin</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_24">membahas</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_25">cuaca</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_26">hari</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_27">ini</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_28">Biarlah</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_29">cuaca</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_30">sendiri</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_31">tentukan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_32">sejarahnya</span>.<br /><br /><span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_33">Tapi</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_34">aneh</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_35">belakangan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_36">ini</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_37">begitu</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_38">banyak</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_39">cuaca</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_40">berkehendak</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_41">hati</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_42">Angin</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_43">seringkali</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_44">menabuh</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_45">badai</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_46">Pusara</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_47">laut</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_48">meninggi</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_49">Ozon</span>-<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_50">ozon</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_51">kabur</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_52">menelanjangi</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_53">kosmos</span>. Dan <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_54">kita</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_55">jadi</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_56">terdakwa</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_57">atas</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_58">semuanya</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_59">Saya</span> pun <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_60">bergidik</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_61">juga</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_62">membaca</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_63">ungkapan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_64">kecewa</span> Gandhi, "<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_65">Alam</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_66">menyediakan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_67">semua</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_68">bagi</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_69">manusia</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_70">tapi</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_71">tidak</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_72">untuk</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_73">keserakahannya</span>." <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_74">Tentunya</span> Gandhi <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_75">tidak</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_76">sedang</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_77">bernubuat</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_78">Atau</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_79">mengomel</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_80">layaknya</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_81">orangtua</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_82">Pembusukan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_83">ekologi</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_84">luar</span>-<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_85">dalam</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_86">macam</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_87">ini</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_88">memang</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_89">membuahkan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_90">dampak</span> yang liar. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_91">Tuhan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_92">tak</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_93">pernah</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_94">memberikan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_95">kita</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_96">tempat</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_97">lapang</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_98">untuk</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_99">menampung</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_100">segala</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_101">daya</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_102">kreatif</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_103">kita</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_104">dalam</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_105">mengelola</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_106">keserakahan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_107">masing</span>-<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_108">masing</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_109">Perang</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_110">superkapitalisme</span>, genocide, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_111">mesiu</span>-<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_112">mesiu</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_113">artileri</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_114">filsafat</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_115">reinasaince</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_116">dan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_117">segala</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_118">tetek</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_119">bengek</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_120">kebengisan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_121">manusia</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_122">menyebabkan</span>: <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_123">alam</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_124">telah</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_125">menjadi</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_126">sosok</span> liar yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_127">penuh</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_128">caci</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_129">maki</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_130">kemunafikkan</span>.<br /><br />George F. Kennan <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_131">pernah</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_132">bilang</span>, "<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_133">kita</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_134">tahu</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_135">dimana</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_136">kita</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_137">mulai</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_138">tapi</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_139">kita</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_140">tak</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_141">pernah</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_142">tahu</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_143">dimana</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_144">kita</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_145">akan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_146">mengakhiri</span>." Ya, '<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_147">awal</span>' <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_148">ialah</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_149">bentuk</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_150">semiotis</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_151">jati</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_152">diri</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_153">manusia</span> yang paling <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_154">gamblang</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_155">Disana</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_156">berjibaku</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_157">presisi</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_158">hal</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_159">ihwal</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_160">ketabuan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_161">dan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_162">kesopanan</span>.<br /><br /><span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_163">Syahdan</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_164">kita</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_165">semua</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_166">menyadari</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_167">bahwa</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_168">kesopanan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_169">akhirnya</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_170">tercerabut</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_171">hilang</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_172">dalam</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_173">belantara</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_174">kekuasaan</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_175">begitu</span> naif. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_176">Apa</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_177">terjadi</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_178">ialah</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_179">manusia</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_180">berbondong</span>-<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_181">bondong</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_182">untuk</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_183">menyerakahi</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_184">sesama</span>. Dan <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_185">bila</span> Gandhi <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_186">benar</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_187">maka</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_188">tak</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_189">ada</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_190">lagi</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_191">kata</span> "<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_192">menyerakahi</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_193">sesama</span>" <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_194">dalam</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_195">hidup</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_196">ini</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_197">Semua</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_198">berubah</span>: "<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_199">menyerakahi</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_200">diri</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_201">sendiri</span>".<br /><br /><span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_202">Cemas</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_203">saya</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_204">jadinya</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_205">Seringkali</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_206">terbit</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_207">pengharapan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_208">saya</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_209">tak</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_210">melulu</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_211">mengacu</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_212">pada</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_213">Tuhan</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_214">Dalam</span> '<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_215">ruang</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_216">gelap</span>' <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_217">itulah</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_218">seringkali</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_219">pula</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_220">saya</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_221">menawarkan</span> antiserum <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_222">kepada</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_223">diri</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_224">sendiri</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_225">Mencoba</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_226">untuk</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_227">bebas</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_228">barang</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_229">sekali</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_230">saja</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_231">Lahir</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_232">pula</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_233">pertanyaan</span> naif: "<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_234">mengapa</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_235">hidup</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_236">terbungkus</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_237">aturan</span>?". Antiserum <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_238">itupun</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_239">bekerja</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_240">dengan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_241">sendirinya</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_242">menjawab</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_243">kenaifan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_244">itu</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_245">Saya</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_246">tak</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_247">mampu</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_248">menyanggahnya</span>.<br /><br /><span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_249">Terkadang</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_250">kepasrahan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_251">macam</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_252">ini</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_253">menyebabkan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_254">manusia</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_255">dapat</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_256">menggugah</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_257">kegetirannya</span>. Rosa <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_258">Luxemburg</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_259">memberi</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_260">kita</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_261">cermin</span>, "<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_262">jantungku</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_263">berdetak</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_264">dengan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_265">rasa</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_266">riang</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_267">tak</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_268">terukur</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_269">dan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_270">tak</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_271">dapat</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_272">dimengerti</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_273">seakan</span>-<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_274">akan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_275">aku</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_276">tengah</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_277">memasuki</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_278">cahaya</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_279">matahari</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_280">cemerlang</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_281">melintasi</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_282">ladang</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_283">bunga</span>. Dan <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_284">di</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_285">dalam</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_286">gelap</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_287">aku</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_288">tersenyum</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_289">kepada</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_290">hidup</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_291">seakan</span>-<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_292">akan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_293">akulah</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_294">pemilik</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_295">tuah</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_296">memungkinkan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_297">aku</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_298">mengubah</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_299">semua</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_300">keji</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_301">dan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_302">tragis</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_303">ke</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_304">dalam</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_305">ketenteraman</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_306">dan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_307">bahagia</span>". Kata-<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_308">kata</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_309">ini</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_310">tersirat</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_311">pada</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_312">sepucuk</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_313">surat</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_314">ia</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_315">kirim</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_316">dari</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_317">dalam</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_318">penjara</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_319">Breslau</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_320">Jerman</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_321">Desember</span> 1917. Ia <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_322">ditangkap</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_323">karena</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_324">mengobarkan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_325">semangat</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_326">subversif</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_327">ditengah</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_328">gegap</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_329">gempita</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_330">genderang</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_331">patriotisme</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_332">kala</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_333">itu</span>: <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_334">Sosialisme</span>.<br /><br /><span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_335">Apa</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_336">menarik</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_337">disana</span>? <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_338">Dengan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_339">surat</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_340">itu</span> Rosa <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_341">melahirkan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_342">kekuatan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_343">ganjil</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_344">Dalam</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_345">penjara</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_346">dingin</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_347">Kebebasan</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_348">terkunci</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_349">Bunyi</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_350">hilir</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_351">mudik</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_352">sepatu</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_353">lars</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_354">tentara</span>-<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_355">tentara</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_356">pengecut</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_357">tak</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_358">pernah</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_359">bosan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_360">datang</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_361">Bau</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_362">coro</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_363">suara</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_364">kering</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_365">batuk</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_366">si</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_367">penjaga</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_368">bui</span>, Rosa <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_369">menggurat</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_370">kesimpulan</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_371">ganjil</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_372">itu</span>: "<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_373">Aku</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_374">tak</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_375">menemukan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_376">sebab</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_377">apa</span> pun, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_378">dan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_379">hanya</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_380">dapat</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_381">menertawakan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_382">diriku</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_383">sendiri</span>." <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_384">Entah</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_385">kenapa</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_386">ia</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_387">percaya</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_388">seperti</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_389">dikatakannya</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_390">kemudian</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_391">bahwa</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_392">kunci</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_393">pembuka</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_394">teka</span>-<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_395">teki</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_396">ini</span> "<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_397">semata</span>-<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_398">mata</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_399">hidup</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_400">itu</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_401">sendiri</span>". <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_402">Ditulisnya</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_403">pula</span>: "…<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_404">malam</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_405">gelap</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_406">pekat</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_407">ini</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_408">lembut</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_409">dan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_410">cantik</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_411">seperti</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_412">beledu</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_413">jika</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_414">saja</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_415">kita</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_416">memandangnya</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_417">secara</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_418">demikian</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_419">Geretau</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_420">kerikil</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_421">lembab</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_422">terinjak</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_423">oleh</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_424">langkah</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_425">pelan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_426">dan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_427">berat</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_428">si</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_429">penjaga</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_430">bui</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_431">juga</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_432">seperti</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_433">sebuah</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_434">nyanyi</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_435">kecil</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_436">manis</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_437">kepada</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_438">hidup</span> – <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_439">bagi</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_440">ia</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_441">bertelinga</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_442">untuk</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_443">mendengar</span>".<br /><br />Ada <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_444">kalanya</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_445">hidup</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_446">ini</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_447">terpenuhi</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_448">oleh</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_449">anomali</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_450">kesedihan</span>.<br /><br /><span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_451">Saya</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_452">makin</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_453">kedinginan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_454">saja</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_455">disini</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_456">Hujan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_457">makin</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_458">ganas</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_459">menyerbu</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_460">bumi</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_461">Berita</span> pun <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_462">mewartakan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_463">detik</span>-<span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_464">detik</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_465">kehancuran</span>: <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_466">alam</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_467">menjadi</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_468">sosok</span> liar yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_469">penuh</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_470">dengan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_471">caci</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_472">maki</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_473">kemunafikkan</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_474">Sungguh</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_475">dapat</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_476">tersenyum</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_477">dalam</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_478">kegetiran</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_479">adalah</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_480">nikmat</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_481">tak</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_482">tertandingkan</span>. Rosa <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_483">mengajarkan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_484">saya</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_485">itu</span>: <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_486">Pelajari</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_487">hidupmu</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_488">Itulah</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_489">awal</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_490">dan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_491">juga</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_492">akhir</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_493">dimana</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_494">kita</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_495">memulai</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_496">sesuatu</span>. <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_497">Tapi</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_498">yakinlah</span>, <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_499">pemberhentian</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_500">itu</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_501">tak</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_502">pernah</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_503">datang</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_504">dengan</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_505">percuma</span>.<br /><br /><span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_506">Memang</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_507">ada</span> yang <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_508">aneh</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_509">pada</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_510">tahun</span> <span class="blsp-spelling-error" id="SPELLING_ERROR_511">ini</span>.MANUSIA PNEUMOTOFOShttp://www.blogger.com/profile/11382854418126998614noreply@blogger.com0