17.5.08

Puncak Lupa Diri, Bernafas Karena Tirani

Revolusi bukanlah suatu pendapatan otak yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa.

Kecakapan dan sifat luar biasa dari seseorang membangun revolusi, mempercepat atau memimpinnya menuju ke kemenangan, tetapi ia tidak dapat menciptakan dengan otaknya sendiri.
Revolusi ialah yang disebabkan oleh pergaulan hidup, satu hakekat tertentu dari perbuatan-perbuatan masyarakat.

Jika Diponegoro dilahirkan di Barat dan menempatkan dirinya di muka satu revolusi dengan sanubarinya yang suci itu, boleh jadi akan dapat menyamai perbuatan-perbuatan Crommwell atau Garibaldi. Tetapi ia menolong perahu yang bocor, kelas yang akan lenyap.

Jika sekiranya pulau Jawa mempunyai borjuasi nasional yang revolusioner dan Diponegoro dalam perjuangannya melawan Mataram dan Kumpeni pastilah ia akan berdiri di sisi borjuasi itu.Pengupasan yang cocok betul atas masyarakat Indonesia syarat terutama untuk mendapat perkakas revolusi, dan itu pulalah yang menjadi syarat pertama yang mendatangkan kemenangan revolusi kita.

Revolusi Indonesia sebagian kecil menentang sisa-sisa feodalisme dan sebagian yang terbesar menentang imperialisme Barat yang lalim ditambah lagi oleh dorongan kebencian bangsa Timur terhadap bangsa Barat yang menggencet dan menghinakan mereka.
Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai keadaan.

Selama orang percaya bahwa kemerdekaan akan tercapai dengan jalan putch atau anarchisme hanyalah impian seorang yang lagi demam. Jika kita mau mengumpulkan dan memusatkan tenaga-tenaga revolusioner di Indonesia dengan jalan massa aksi yang tersusun buat merantapkan kemerdekaan nasional, tentulah kita mesti mempunyai satu partai yang revolusioner.

Partai mesti berhubungan rapat dengan massa terutama dalam saat yang penting, dengan segala golongan Rakyat dari seluruh kepulauan Indonesia. Dengan tidak berhubungan seperti itu, tak akan ada pimpinan yang revolusioner.
Dengan jalan revolusi dan perang kemerdekaan nasional-lah (yang dapat dimasukkan ke dalam revolusi sosial!!!), maka sekalian negeri besar-besar yang modern, tidak ada kecualinya, dapat melepaskan diri dari kungkungan kelas dan penjajahan.

Revolusilah, yang bukan saja menghukum, sekalian perbuatan ganas, menentang kecurangan dan kelaliman, tetapi juga mencapai sekalian perbaikan bagi yang buruk.
Di dalam masa revolusilah tercapainya puncak kekuatan moril, terjadinya kecerdasan pikiran dan memperoleh segenap kemampuan untuk pendirian masyarakat baru.

Satu kelas atas satu bangsa yang tidak mampu melemparkan peraturan-peraturan kolot serta perbudakan dengan perantaraan revolusi, niscaya musnah atau ditakdirkan menjadi budak buat selama-lamanya.


Revolusi itu menciptakan!!

(Datuk Ibrahim Tan Malaka)

14.5.08

Moral Dalam Tinta Sebuah Pena

Begini, kalau tidak salah 3 minggu yang lalu kejadian ini tergelar. Waktu itu saya sedang presentasi makalah pada mata kuliah Agama dan Pendidikan. Makalah saya itu bertemakan tentang moral manusia dalam perspektif pendidikan. Terus terang, saya tidak ikut membuat makalah tersebut. Saya hanya numpang nyontong tok. Isi makalah itu pun saya baru tahu pada hari itu.

Kami (saya dan kelompk saya) sepakat bahwa mata pelajaran "moral" (PMP, PPKN, etc..) tidak diajarkan pada siswa maupun mahasiswa. Tentu saja itu nyeleneh. Kontroversi pun melekat pada makalah tersebut. Tapi kami bukan tidak punya argumen atau sekedar bacot tok. Asumsi kami ialah:

1. Sebuah nilai yang diberikan guru atau dosen telah bertransformasi dari sebuah "tanda" menjadi "penanda". Nilai akademik tidak lagi menjadi asumsi bisu perihal bodoh-pintarnya seseorang, tetapi telah menjadi alat penakar tentang kriteria baik-buruk seseorang dalam menjalani kehidupan. Dalam artian, begini: misal, ada seorang siswa kelas 1 SMA yang mendapatkan nilai merah pada mata pelajaran PPKN-nya, maka pernyataan yang lahir setelahnya ialah, "anak ini bodoh sekali, masa PPKN saja merah. Itu "tanda" bahwa si siswa tadi seorang yang bodoh, dengan asumsi bahwa PPKN adalah pelajaran yang terhitung mudah, akan tetapi dia tidak mampu mempelajarinya sehingga dia mendapat nilai merah di raport. Sekali lagi, itu "tanda". "Penanda"-nya ialah: "pasti dia siswa yang bejat, cabul, pornois, atheis, hingga mata pelajaran PPKN tidak mampu ia serap." Opini bodoh seperti itulah yang membuat seseorang (seakan) dapat mengukur bahwa segala nilai kehidupan dapat ditakar lewat nilai-nilai yang termaktub di raport. Bahkan moral sekalipun. Dan bagi kami, saya khususnya, itu ironis, bahkan paradoks. "Tanda" menjadi "Penanda". Betapa naifnya, saya kira, bila parameter sebuah nilai moral ditentukan oleh warna tinta sebuah pena.

2. Bagaimana moral si guru PPKN sendiri hingga dia berhak memberikan nilai merah pada raport si siswa tadi? Apakah hanya karena dia seorang khatib mingguan saat Jumatan? Apakah karena dia senantiasa berpeci-ria saat mengajar? Atau dia seorang yang sudah 10x naik haji? Bagi saya, itu nonsense. Kita sudah terlampau sering menyimak atau bahkan ikut andil dalam rutinitas penjualan agama, rutinitas kemunafikkan. Perilaku-perilaku amoril yang ditawarkan oleh orang2 yang membawa agama ke jenjang politik, negara, fasilitas perang, dan menjadikan agama sebagai janji irasional yang memuakkan.Dan hasilnya seperti ini: orang merasa yakin untuk tidak beragama. Tidak semua manusia beragama itu suci. Ini saya tekankan karena kita terlampau sering mengukur nilai moral melalui perspektif agama. Terlebih bila ada salah satu dari anda yang terkena sindrom fanatik sebuah agama. Seakan agama yang beda dengan anda ialah kafir, ialah tidak bermoral, pembunuh, setan, yang akan dilaknat Tuhan dan disekap dalam bara neraka tanpa memperhitungkan bahwa dulu dia pernah bermoral juga. Seakan orang yang kritis terhadap agama di cap atheis, tidak ber-Tuhan, komunis. Dalam hal tersebut, timbul pertanyaan: dimana keadilan? Itulah nilai merah moral sebenarnya. Ketika dimana moral dijadikan klaim sepihak dengan hanya menilik melalui 1 perspektif saja.

Sekolah telah salah disini. Sekolah, berikut para pekerja didalamnya telah mendoktrin secara tidak langsung kepada segenap siswa bahwa disanalah nilai-nilai kebenaran lahir, selain, tentu saja, rumah ibadah. Dan orang-orang dengan mainstream naif seperti itulah yang menjadi alasan kenapa banyak dari kita yang menyepelekan moral dan agama. Hemat saya, ada belenggu yang yang sangat besar untuk sekedar mempercayai begitu saja apa makna moral dalam buku-buku sekolah, dari KBBI, dari kata-kata yang keluar dari mulut seorang guru atau dosen, pendeta atau kiyai.

Tulisan ini bakal memuncakkan amarah yang sengit, pikir saya. Maka, bila itu benar, dari sinilah klaim-klaim timbul lewat pelbagai kesalahtafsiran sentimentil. Hujat menghujat senantiasa lahir karena adanya aturan maupun etika yang terlanggar tanpa mempedulikan bahwa sebuah teks tidak hanya didirikan oleh struktur, tapi juga mampu membuat struktur, sekaligus memperkaya tafisr pembaca. Kalau memang terjadi seperti itu, ironi yang menang. Dan kesimpulan pun saya tarik: bahwa bicara moral berarti membicarakan sebuah medan magnetik yang dapat membuat orang berbuat naif, dan lepas kendali. Lalu, lagi-lagi saja nilai merah pada mata pelajaran PPKN ialah salah satu hal yang diyakini sebagai penyebab kenapa banyak orang tidak bermoral dan masuk neraka.

24.4.08

Menjual Buruh Lewat May Day

Kalau Indonesia merayakan perubahan, ada banyak pertanyaan yang mengiringinya. Siapa yang mengawali perubahan itu? Bagaimana prosesnya kelak? Mau kemana perubahan itu dibawa?

***********
1 Mei 2008 esok, kembali, sebuah titimangsa pagelaran akbar dari rakyat kelas pekerja dirayakan. Pada hari itu pula, segenap aktifis dan massa pergerakan, buruh-buruh pabrik dan rakyat miskin kota berlomba meneriakkan apa yang selama ini mereka impikan: kesejahteraan. Bersanding dengan megatruh yang mengintai disekeliling mereka, dengan segenap gundah yang membuncah, yang pahit tak tertahankan, mereka menjelma menjadi subyek aktif dengan penuh prakarsa: sekali lagi, menuntut kesejahteraan.

Kita pun mengingat kembali tanggal 1 Mei nanti dengan apa yang telah dilakukan Peter Mcguire pada tahun 1872 di Amerika Serikat. Mcguire, seorang pekerja mesin dari Paterson, New Jersey, yang dengan keringat deras meluluri tubuhnya mengajak 100.000 massa pekerja melakukan aksi mogok menuntut pengurangan waktu kerja. Ia pun menderu, melobi, berbicara kesana kemari. Dari pekerja sampai pengangguran, pemerintah kota sampai bos-bos pabrik, menuntut diadakannya kebijakan: pekerjaan dan uang lembur. Aksinya tersebut, tak ayal menimbulkan berbagai kecaman yang membuatnya terkenal. Dengan sebuah pengerucutan kesimpulan baginya: Ia dianggap sebagai biang pengganggu ketentraman masyarakat.

9 tahun depa perjalanan ia lakoni, akhirnya Peter Mcguire menghadirkan sebuah ide untuk mengorganisasikan pekerja menurut bidang keahlian mereka. Ide ini muncul setelah sebelumnya ia mendirikan organisasi yang terdiri atas tukang-tukang kayu di Chicago: United Brotherhood of Carpenters and Joiners of America, dimana ia menjadi sekretaris umum disana.

Dan kita pun tahu bahwa Mcguire berhasil mengutarakan idenya. Pada 5 Sepetember 1882 Amerika Serikat, dengan Mcguire sebagai tokoh sentral, menggelar perayaan parade buruh di New York dengan peserta 20.000 orang yang membawa spanduk bertuliskan, "8 JAM KERJA, 8 JAM ISTIRAHAT, 8 JAM REKRASI." Aksi dan gagasan ini pun menyebar ke belahan negara lain. Hingga pada akhirnya tuntutan itu sukses: Presider Grover Cleveland menandatangani sebuah undang-undang yang menjadikannya hari libur umum nasional.

Peter Mcguire pun tersenyum. Ia menjadi seorang mahesa dengan segenap rayuan yang menggelegak untuk membuat sadar para manusia yang terlindas deru mesin-mesin di pabrik.

Bagaimana di Indonesia?

Perayaan May Day di Indonesia tidak lebih dari perayaan nasib kelam, perayaan anarkisme yang selalu tumpang tindih, perayaan ketidaksetujuan, dan perayaan yang penuh akan kesalahtafsiran sentimentil.

Ada, seperti yang pernah dikatakan Jean Luc Marion, seorang fisuf Prancis, pemberhalaan konsep, disana. Buruh direduksi sebagai sebuah konsep yang melulu harus diperjuangkan. Seolah, dengan tinggi hati, kita dapat memahami permasalahan buruh hanya dengan sebuah kepastian: kemiskinan. Buruh dikomodifikasi sebagai bagian dari atribut revolusi. Dan selesai sampai disitu. Selesai sampai dimana buruh dijadikan sebuah definisi yang berjarak dengan berbagai macam eskatologi baru yang dijanjikan.

Lelaku seperti ini, menjanjikan surga baru yang dinantikan, adalah sikap yang salah. Ketika kekecewaan makin intens terhadap kerinduan akan surga tadi, maka segala hal ikut dikorbankan, dan akan sangat mudah muncul kekecewaan. Karena dunia tidak akan pernah jadi surga, sehingga ada spiral kekecewaan dan kekerasan yang tak lekang sampai surga tersebut muncul keharibaan para buruh di dunia, tentunya.

Kita pun jadi bertanya-tanya: apa ini kesalahan reformasi? Tidak sepenuhnya benar dan dapat dijawab pasti. Ketika 10 tahun reformasi dinilai gagal, maka itulah kegagalan sepenuhnya. Dalam hal tersebut, demokrasi dilupakan. Mekanisme tentang adanya pengakuan bahwa tidak ada sistem yang sempurna, dibatalkan. Tampaknya kita tidak pernah mau mengerti akan makna kombinasi antara harapan dan ironi. Dan ada kebutuhan akan akal instrumental dalam pemberhalaan konsep.

Kita, hemat saya, telah salah menafsir buruh dan permasalahannya.

Arif Budiman pernah berujar: You fight and you have fun. Ini dimaksudkan bahwa agar kita terus menjaga ironi dan jarak terhadap perjuangan. Agar kita tidak perlu takut menghadapi kekalahan, karena kita masih punya fun. Para duta May Day perlu memasifkan semboyan ini. Karena buruh selalu dipersulit dengan demonstrasi yang tak kunjung padam. Selalu menjadi pesakitan dan simbol kegelepan di Indonesia. Dan ngomong-ngomong soal kegelapan, saya jadi ingat semboyan lain. Kalau tidak salah, semboyan itu ialah semboyan dari kalangan HAM sedunia, bunyinya begini: “Jangan kutuk kegelapan, nyalakan lilin."

Darimana lilin tersebut? Ia hadir ketika kita sadar bahwa ada jenjang yang telah pasti akan ironi dan harapan. Ia hadir ketika kita sadar bahwa revolusi tidak akan membuat dunia berubah drastis dan buruh-buruh menjadi kenyang perutnya.

19.2.08

Babat Sekolah!

Andai ada mesin pencetak manusia multifungsi tanpa kenal usang, anda boleh sepakat dengan 7 abjad ini: SEKOLAH! Sekolah, seperti yang kita kenal ialah traktat penerabas fenomena involutif alam pikiran manusia. Berasal dari kata Latin skhole yang berarti ‘waktu senggang’, sekolah kini menjadi barang dengan probabilitas yang tak bisa ditawar lagi. Ia begitu dipuja. Dinikmati. Diagung-agungkan. Disembah, barangkali.

Tapi, dibalik kebanggaan kita dengan sekolah, ternyata banyak juga yang beranggapan bahwa sudah saatnya manusia terbebas dari sekolah. Kalau di sebelah anda sekarang ada Roem Topatimasang, pastilah dia akan tersenyum-senyum. Ya, lelaki itulah yang pernah menggegerkan jagat pendidikan Indonesia lewat sebuah pamflet Illichian-nya yang begitu syahdu menggelegar: Sekolah Itu Candu!. Roem membabat habis kesakralan identitas sekolah saat ini dalam bukunya tersebut. Baginya, sekolah sekarang tak hanya layak didedah, tapi juga patut diganyang.

Buku ini bermula dari seorang tokoh bernama Sukardal yang hidup ditahun 2222. Dia menemukan setumpuk berkas tua di Museum Bank Naskah Nasional yang termasuk “BACAAN TERLARANG-GOLONGAN A (SANGAT BERBAHAYA)”, berjudul: Sekolah. Judul yang bagi Sukardal kala itu terdengar asing dan samar-samar. Merasa tertantang, Sukardal pun membaca helai per helai naskah tersebut. Dan Sukardal pun membaca...

Dalam “pembacaan” Sukardal tadi, ditambah dengan esai-esai yang memikat, Roem mengajak kita untuk menjelajahi sekolah-sekolah yang memiliki kurikulum yang bebas dari patron baku sekolah-sekolah yang ada. Metode pengajaran yang nyeleneh. Kasus-kasus pendidikan yang memerlukan keadilan, hingga kebobrokan sistem pendidikan yang telah mapan.

Sebutlah Universitas Rockfeller di New York, Amerika Serikat. Di universitas ini jangan harap anda akan menemukan daftar mata pelajaran baku, jadwal jam belajar resmi, kelas-kelas yag dibagi-bagi per tingkat atau per jurusan, ujian kolektif. Semua kebakuan tersebut dijungkirbalikkan dengan: kebebasan mahasiswa dalam memilih dan menetapkan sendiri apa yang mau mereka pelajari dan bagaimana cara yang paling sesuai untuk mempelajarinya! Tapi, jangan dulu anggap bahwa universitas ini universitas sembarangan. Kalau anda pernah mengenal nama-nama seperti David Baltimore, Gerald Edelmann, Theodosius Dobzhansky dan beberapa penemu hebat lainnya, dari sinilah kesohoran mereka lahir. Sayangnya, universitas ‘unik’ ini tertelan dibalik universitas-universitas tersohor di Amerika Serikat, seperti, Cambridge, Harvard, Stanford, MIT, dll.

Roem juga menyadarkan kita dari kebodohan kaum urban dengan menggambarkan suasana di Mantigola, Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara dari segi pendidikan. Disana, bukan murid-murid yang menikmati sarana antar-jemput, tetapi guru-guru mereka! Hebatnya lagi, sarana antar-jemput tersebut bukan sekolah yang menyediakan, tapi murid-muridnya! Keaslian kultur di perkampungan Orang Bajo tersebut disebut Roem sebagai, “hal ‘ajaib’ yang sangat jamak terjadi di negeri yang juga ‘ajaib’.” Dengan menghadirkan kultur tersebut sebagai bagian dalam buku yang tertuju bagi masyarakat urban, Roem sungguhlah sedang mengepal kekuatan subversif dan mengangkat pedang resistensi terhadap pola pendidikan sekarang. Perkotaan khususnya.

Tapi, jangan keburu cepat menilai bahwa Roem ialah seorang anarkis pendidikan yang hanya menawarkan antiserum ekstrim lewat revolusi. Coba tengok bab 9 yang berjudul Involusi Sekolah. Dalam bab tersebut Roem coba memadu-padankan kegeraman terhadap sistem pendidikan yang telah mapan dengan rasio mimikri yang sehat dan intelek. Jika kita menilik kalimat per kalimat, Roem memang terlihat sengaja mengumbar kata-kata yang menohok para petinggi pendidikan Indonesia. Pun dengan sindiran-sindiran yang ditulisnya. ‘Keengganan ideologis’, ‘kebanggaan semu budaya’, atau ‘kemalasan intelektual’ adalah sebagian kalimat yang dibaurkan Roem lewat persinggungan presisi, guna meninju pikiran pembaca agar lekas ‘tersadar’ dari kesalahan sistem yang ada.

Pada bab 11 yang bejudul Sekolah Itu Candu! disinilah saya kira Roem menghadirkan sindiran yang begitu telak terhadap sistem pendidikan kita. Bab ini menceritakan bagaimana bayangan Roem tentang opini orang-orang yang tahu kasus pemecatan Eko Sulistyo, seorang siswa SMA di Yogyakarta. Dia dipecat dari sekolah karena mengumumkan hasil penelitian yang diprakarsai dan dilaksanakannya sendiri tentang pandangan kaum remaja seusianya mengenai kehidupan seksual. Alasan pemecataannya yang dinilai tidak objektif dan terkesan mengada-ngada: penelitian yang dilakukan Eko tidak mendapat izin resmi dari sekolah dan pejabat setempat. Atas hal itulah Roem menutup bab ini dengan mahakata yang begitu Marxis: Sekolah Itu Candu!, karena sekolah dengan kebenaran tak terbatas berhak memvonis salah-tidaknya seseorang.

Puncak kekecewaan Roem terhadap sekolah ditutup dengan epilog: Sekolah Masa Depan. Ini akhir episode dari Sukardal yang telah selesai membaca naskah terlarang tadi. Karena terheran-heran (sekaligus terpengaruh) dengan naskah tadi, Sukardal lantas menghubungi para kerabat-kerabatnya yang terdiri dari tetangga terdekat dan juga seorang profesor untuk menghadiri pertemuan yang diselenggarakannya di Balai Pertemuan RT. Disana Sukardal yang menjadi guru. Mengajari orang-orang yang hadir tentang bagaimana mendapatkan buah labu jenis baru dengan kualitas yang jauh lebih baik. Sang profesor tampak paling bersemangat, sedang Sukardal terus berkelakar. Hingga pada akhirnya kita semua diajak untuk sadar oleh Roem bahwa: Sukardal hanyalah seorang petani!

Kalau Foucault bilang pengetahuan itu mempunyai kekuasaan, maka jelaslah sudah apa yang sebenarnya kita butuhkan dari hegemoni pengetahuan yang menindas: Makar! Dan buku ini layak ditempatkan di posisi teratas. Apalagi yang harus anda pikirkan? Iqra!

For A Fighting The Truth, There's No Journeys End!

Metanoia Seorang Wartawan; Kemarahan, kesedihan..

Tatkala cuaca sedang bersedu-sedan, aku berkaca..

“Duh Gusti Aloh.. Yang wajah-MU terpahat setiap saat.. Mengapa nasib tak beranjak…? Kalbu-MU tak berpijak.. Sangsai-MU enggan tersibak.. Ridho-MU pudar tersingkap.. Mengapa Gusti Aloh?? Doa ku sudah berbaur dengan bulir-bulir air mengalir.. Serintih buih-buih pedih.. Sekepal batu-batu terjal.. Sejumput riwayat penuh kemelut.. Tapi Gusti Aloh.. Duhh.. Apa iya harus ku murtad?”

Aku pun bersembah-sujud.. Menciumi wangi tanah yang dulu tertimbun darah..

Dan lagi-lagi: Aku hanya bisa meratapi..

“Duhai kosmik tanpa wajah.. Semesta tanpa raut.. Penjelaga tanpa batas.. Adilkah ini kata-Mu? Memadu rindu dengan agama-MU.. Yang diruntut kaum-MU bagai kode buntut.. Bagai metanoia tak berujung.. Bagai gelegar petaka..

Bagai..

Bagai..

Bagai.. Syahwat binal tak bertepal..”

Aku bangun.. Merintih menangis.. Miris.. Sungguh miris..

“Gusti Aloh.. Aku mencari ajalku, sebagaimana ajal-MU datang menjemput tanpa sambut kawan-kawanku.. Sebagaimana ketidakadilan-MU datang menindih doa kawan-kawanku.. Sebagaimana kejam-MU mencabik senyum kawan-kawanku.. Gusti Aloh.. Ya Gusti Aloh.. Ijinkanlah aku meminta ajalku.. Mendatangi-MU biar kita mabuk bercinta.. Menyatu menderu.. “

Aku memandang sekeliling, kutatap pedih tak bergeming..

Ternyata kawanku datang dan menyeru kemana keadilan.. “Aku mati oleh rezim Tuhan..”

TERSIRAT UNTUK PARA WARTAWAN YANG PERNAH MATI DICEKIK OLEH TAKDIR YANG ENGGAN BERPIHAK..

**************************************************************

6.2.08

Tiada Tangis Untuk Disman

Sudisman, anggota Polit biro CC PKI, dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Mahmilub tahun 1967 dengan tuduhan terlibat peristiwa 1965. Di tahun itu juga ia dieksekusi. Hanya Sudisman yang menjalani proses pengadilan dari 5 pucuk pimpinan PKI. Yang lain lenyap tak tentu rimbanya. Bagaimana mati dan kuburnya pun tak terpastikan. Di samping itu ratusan ribu warganegara Indonesia yang tak pernah diadili dan dibuktikan bersalah: baik anggota, simpatisan maupun yang diduga ada hubungan dengan PKI, dibantai, dipenjarakan, atau dibuang ke Pulau Buru. Pada minggu pertama Oktober 1965, 5 dari pucuk pimpinan PKI, cuma Sudisman yang berada di Jakarta sementara 3 orang ada di Jawa Tengah : Aidit, Lukman dan Sakirman sedangkan Nyoto di Sumatra Utara.

Sudisman sendiri sempat melewati masa pelarian dan sembunyi. Pada masa pelarian inilah, ia berhasil membuat Pledoi atau KOK partai. Pledoi Sudisman yang mengatasnamakan Polit Biro CC PKI sendiri diselesaikan di Jawa Tengah, Bulan September 1966. Pledoi Sudisman ini juga dianggap telah mengakhiri pertentangan dalam faksi-faksi PKI akibat G 30 S yang gagal.
Dalam Pledoi itu Sudisman menyatakan:

Malapetaka yang telah menimbulkan kerugian berat kepada PKI dan gerakan revolusioner rakyat Indonesia sesudah terjadi dan gagalnya “Gerakan 30 September” telah menyingkapkan tabir yang dalam waktu cukup lama menutupi kelemahan-kelemahan berat PKI. Pimpinan PKI telah menjalankan avonturisme yaitu dengan mudah saja tanpa mengindahkan ketentuan-ketentuan organisasi melibatkan diri ke dalam “Gerakan 30 September” yang tidak berdasarkan kesadaran dan keyakinan yang tinggi massa rakyat. Dan karena itu telah menyebabkan terpencilnya partai dari massa rakyat. Sebaliknya sesudah kalahnya “Gerakan 30 September” pimpinan partai menjalankan garis oportunisme kanan yaitu menyerahkan nasib partai dan gerakan revolusioner pada kebijaksanaan Presiden Sukarno. Ini adalah puncak kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan berat PKI baik di bidang ideologi, politik dan organisasi”

Sudisman, akhirnya tertangkap di daerah terpencil Tomang pada tanggal 6 Desember 1966. Katanya: “Dalam juang terkepung lawan, tepat setahun sesudah Kawan Njoto tertangkap”. Untuk penangkapannya ini ia mengungkapkannya secara puitik:

DISERGAP
Seisi rumah lagi enak nyenyak,
mendadak terperanjat,
bangun terbentak,
oleh gedoran pintu dibarengi derap sepatu,
todongan pistol bernikel menuding-nuding,
mengabakan, ayo jongkok dipojok,
dengan baju celana dalam thok,
alangkah berkesan bagiku adegan ini,
disergap sesaat mentari merekah pagi.

Selama dalam tahanan, anehnya Ia sendiri, tak mengalami siksaan fisik yang berarti seperti yang lain-lain walau seharusnya dialah yang paling bertanggung-jawab. Sudisman menyatakan:
Dari persoalan penangkapan saya menjurus ke pemeriksaan. Saya ingin mengemukakan bahwa saya pribadi tidak pernah mengalami pukulan selama pemeriksaan, malahan hubungan antara pemeriksa dan yang diperiksa berdasarkan saling menghormati dan saling mengerti akan keyakinan masing-masing titik tolaknya, saling menghormati walaupun menganut perbedaan politik. Tetapi tidak demikian halnya jang dialami oleh kawan-kawan saya, sampai-sampai kawan Anwar Sanusi, calon anggota Politbiro CC-PKI dan bekas wakil Sek.Jen. Front Nasional pusat masih dipukul juga, apalagi yang lain. Ragam pukulan hampir menyerupai siksaan sewaktu zaman fasis Jepang, hanya digantung sajalah yang tidak digunakan. Sungguh mengerikan kalau melihat derita akibat pukulan yang dialami kader-kader PKI dan mereka yang dituduh tersangkut dengan G.30.S., padahal ke salahan mereka belum terbukti, dan belum tentu mereka itu bersalah. Belum tentu bersalah tetapi badannya sudah rusak akibat pukulan dan diselomoti (dibakar) dengan nyala rokok, sandal karet yang dibakar, sampai distrom.
Ia pun menyadari ini. Karenanya dalam pembelaannya di mahmilub ia mengemukakannya sebagai Uraian Tanggung Jawab bukan pidato pembelaan karena menurutnya suatu pembelaan harus memiliki persenjataan yang lengkap baik di bidang teori Marxisme-Leninisme maupun di bidang-bidang lainnya. Persenjataan itulah yang justru tidak dia miliki karena persediaan perpustakaan tidak dia miliki dan tidak ada di tangannya.
Pada pengadilan mahmilub itu, sebagai seorang komunis yang bersandar pada pengetahuan Ilmiah, ia pun menolak di sumpah atas nama agama apapun. Dengan rendah hati, ia pun menyatakan bertanggung jawab atas peristiwa 1965, karena kawan-kawannya lain sudah lebih dulu menempuh “jalan mati”. Untuk ini ia menyatakan:
Mereka berempat telah mati tertembak tanpa "jalan-justisi". Mereka berempat adalah saya, dan saya adalah mereka berempat, sehingga solidaritas Komunis mengharuskan saya untuk menunggalkan sikap saya dengan mereka berempat dan memilih "jalan mati". Saya dengan mereka berempat telah berpanca-kawan, artinya, berlima telah bersama-sama membangun kembali PKI sejak tahun 1951, dari kecil menjadi besar, dari berpolitik salah menjadi berpolitik benar, dari terisolasi menjadi berfront luas, dari kurang belajar teori menjadi mulai belajar teori Marxisme - Leninisme, dan karena tidak menguasai teori Marxisme - Leninisme secara kongkrit kemudian berakhir terpelanting dalam kegagalan' G-30-S yang membawa kerusakan berat pada PKI. Saya pribadi terlibat dalam G-30-S yang gagal. Kegagalan ini berarti pula kegagalan saya dalam memimpin PKI, sehingga mendorong menjadi unggulnya pihak lawan politik PKI.
Di hadapan pengadilan Mahmilub ini juga ia mengungkapkan kondisi yang senasib antara Bung Karno dan PKI. Ia menyatakan:
Saya dan PKI tidak pernah memberikan gelar ini atau itu kepada Bung Karno, tidak pernah memberikan agung ini, atau agung itu, sebab gelar satu-satunya jang tepat adalah "Bung Karno" sehingga nama Bung Karno berkembang dari Sukarno (ada kesukaran) ke Bung Karno (artinja bongkar kesukaran). Sebagai sesama orang revolusioner, justru dalam keadaan sulit seperti sekarang inilah saya terus membela dan mempertahankan Bung Karno, sebab sesuatu mengatakan bahwa "in de nood leert men zijn vrien den kennen" (dalam kesulitan kita mengenal kawan) dan "jo sanak, jo kadang, jen mati aku sing kelangan" kata Bung Karno untuk PKI. Sebagai arek Surabaya, saya sambut uluran tangan Bung Karno dengan: "ali-ali nggak ilang, nggak isa lali ambek kancane". (artinya tidak bisa lupa sama kawannya).
Kenapa saya bela dan pertahankan Bung Karno? Sebabnya ialah sepanjang sejarahnya Bung Karno konsekwen anti Imperialis sampai berani menyemboyankan "go to hell with your aid" terhadap imperialis Amerika Serikat; Bung Karno setuju mengikis sisa-sisa feodal dengan mengadakan landreform terbatas; dan Bung Karno setia pada persatuan tenaga-tenaga revolusioner. Inilah dasar daripada instruksi saya pada anggota-anggota PKI, untuk masuk dan bentuk "Barisan Sukarno".
Dalam kesulitan seperti sekarang ini berlakulah pepatah Pavlov bagi Bung Karno "a discovery begins where an unsuccessful experiment ends" (suatu penemuan mulai pada saat pengalaman yang tidak sukses berhenti).
Sebagai perpisahannya dan kesiapannya menatap pelaksanaan hukuman baginya, Disman mengutip perkataan penulis Andrew Carve: No tears for Disman - Tiada airmata bagi Disman. Sedangkan bagi para petugasnya, ia sampaikan: You had done the world a service - Kalian telah berbuat bakti bagi dunia. Sebagai orang Jawa, ia menyatakan dalam bahasa Jawa yang bernada miris:
Pertama: matur nuwun, terima kasih kepada semua pihak yang telah merasa membantu saya selama berjuang;
Kedua: nyuwun gunging pangaksomo, minta seribu maaf, terutama kepada massa progressif revolusioner jang merasa saya rugikan selama dalam perjuangan;
Ketiga: nyuwun pangestu, minta restu terutama pada semua keluarga istri dan anak-anak dalam saya melaksanakan putusan hukuman.
Ben Anderson yang hadir pada persidangan itu kemudian mengungkapkan:

Dari kesaksian Sudisman saya dapat kesan bahwa dia merasa diri dalam keadaan di mana partai yang ikut dia pimpin itu dihancurkan secara mengerikan. Ratusan ribu yang mati. Dan dia sebagai seorang pemimpin dan sebagai seorang Jawa merasa bertanggung-jawab. Bagaimanapun, kalau pimpinannya baik dan beres seharusnya hal seperti itu tidak terjadi. Karena itu dia menamakan pembelaannya itu "Uraian Tanggung Jawab." Dia tidak mau debat tentang soal ini-itu. Dia cuma bilang, "Bagaimanapun juga, sebagai pimpinan tertinggi yang masih hidup, saya memakai kesempatan ini untuk meminta maaf atas apa yang terjadi." Sudisman tidak pernah bilang bahwa dia ikut merencanakan G-30-S. Dia cuma bilang bahwa rupanya ada unsur-unsur PKI yang terseret. Dia tidak membicarakan soal Biro Khusus. Tidak membenarkan dan juga tidak membantah adanya. Waktu Syam memberi kesaksian, Sudisman tidak mau melihat mukanya dan tidak mau menjawabnya. Yang jelas, untuk sebagian besar dari saksi-saksi waktu itu informasi tentang adanya Biro Khusus itu sesuatu yang mengejutkan sekali. Jelas mereka sama sekali tidak tahu menahu.

***
Sudisman, pejuang yang telah melewati pasang-surut revolusi Indonesia dengan berani itu dilahirkan di Jember, 1920. Sejak mudanya, ia telah berlaku berani menempuh hidup: sebagaimana Sayuti Melok menempelkan Ijazah AMS-nya (SMA) pada blek untuk jual dendeng, demikianlah pula Sudisman, begitu tamat HBS Surabaya tanpa ragu bersumpah di depan seorang gurunya bahwa ia tak akan menggunakan ijazah kolonial itu untuk mencari makan. Ia pun lantas terlibat dalam pengorganisiran buruh.
Sudisman juga dikenal sebagai organisator yang jitu dan cerdik. Seorang jurnalis Soeryono (1927-2000), yang pernah bekerja di Penghela Rakyat di Magelang dan juga anggota Pesindo menjuluki Sudisman sebagai "the King Maker" yaitu Amir Syarifuddin dan DN Aidit. Ia juga seorang intelektual yang tekun dan teliti begitulah minimal di mata Joesoef Ishak dan Joesoef pun mengenalnya sebagai orang yang rajin membawa catatan ke mana-mana, dan kebiasaannya tak lain dari mencatat apa-apa yang dikatakan lawan bicaranya. Ia tak ubahnya sebagai "kamus berjalan" yang bisa dimintai bantuannya bila seseorang lupa atau tak mampu mengingat-ingat suatu hal penting yang ingin dikemukakan.

Sejak sebelum pecah perang kemerdekaan 1945, dia aktif di Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) bersama Amir Syarifuddin, Moh. Yamin,Wikana, A.K.Gani Pada masa Jepang, pada Januari 1943, Sudisman bersama Amir Syarifuddin dan 53 kawannya pun ditangkap. Menurut AM Hanafi, Sekretaris Jendral Barisan Pemuda GERINDO sejak masa di zaman Belanda dan masa pendudukan Jepang, Sudisman adalah Ketua Barisan Pemuda GERINDO Cabang Surabaya. Di penjara di Sragen. Kemudian bebas. Adalah pemuda Sidik Arselan, anggota Pemuda GERINDO, bekas PETA, dengan sepasukan Pemuda P.R.I. (yang ketuanya adalah Sumarsono) yang mendatangi penjara Sragen itu. Selain telah membebaskan Amir Sjarifudin dan Sudisman, mereka juga telah membebaskan semua tahanan lainnya yang ada di situ. Sudisman, menurut AM Hanafi juga, adalah anggota PKI, kadernya Pamudji yang dibunuh Jepang di penjara Sragen. Dari penilainan Hanafi, Sudisman adalah seorang yang tahu menghormati kaum Sukarnois. Karena itu sebagai pejuang Sudisman dikenal sebagai seorang nasionalis yang militan.
Bagaimana situasi revolusi yang bergolak itu? F.C. Fanggidaej, ketika Mengenang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke 50 menulis:
Kota Yogya mendidih dari semangat dan tekad juang pemuda. Pekik dan salam MERDEKA memenuhi ruang udara kota. Jalan-jalan dikuasai pemuda: kebanyakan berambut gondrong, mereka bersenjatakan pestol, senapang, brengun sampai kelewang panjang Jepang, dan sudah tentu bambu-runcing. Kepala mereka mereka ikat dengan kain merah .... Yah, semangat juang, rasa romantisme dan kecenderungan kaum muda untuk berlagak dan bergaya bercampur dengan sikap serius dan tenang dengan tekad pantang mundur yang terpancar dari mata dan wajah mereka --- itulah gambaran pemuda Indonesia Revolusi Agustus 1945. Di dalam gedung Kongres tampak pemuda-pemuda yang baru dibebaskan atau membebaskan diri dari penjara Kenpeitai Jepang Sukamiskin di Bandung, antara lain: Sudisman, Tjugito, Sukarno. Juga Sumarsono, Ruslan Wijayasastra, Soepeno dan Chaerul Saleh. Sambutan Amir Syarifuddin menggambarkan ciri khas suasana politik pada awal Revolusi. Kata Bung Amir: "Hai Pemuda, jika kamu memegang bedil di tangan kananmu, haruslah kamu memegang palu di tangan kirimu. Dan jika kamu memegang pedang di tangan kananmu, peganglah arit di tangan kirimu!"
Selama awal-awal revolusi fisik itu, Sudisman adalah figure pemimpin dalam organisasi para militer pemuda kiri: Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Pada tahun 1947, ketika FC Fanggidaej, hendak berangkat ke pertemuan pemuda di Praha, Sudisman sebagai Ketua Pesindo berpesan kepadanya agar dirinya hanya banyak berbicara tentang tuntutan perjuangan. Hanya tentang perjuangan dan situasi perjuangan saja. Tidak ada soal soal lain. Tentang situasi sosial, ekonomi dan sebagainya, itu semua tugas tugas negara. Tugas Pemuda satu saja: yaitu memberitakan dan menjelaskan kepada dunia luar, apa itu Republik Indonesia, apa dan kapan itu Proklamasi Kemerdekaan RI, dan mengapa rakyat Indonesia mengangkat senjata melawan Belanda dan Sekutu. Fanggidaej juga harus menyerukan ajakan dan tuntutan Republik Indonesia pada Dunia : "Stop the War!"
26 Februari 1948, Sayap Kiri menyelenggarakan kongres di Solo. Front Demokrasi Rakyat (FDR) pun terbentuk. Sudisman, Aidit, Njoto dan Lukman lantas mengisi Sekretariat FDR. Sejak masa sekretariat FDR inilah mulai dikenal kesatuan empat serangkai: Aidit, Lukman, Njoto, Sudisman. Di antara mereka, Sudismanlah yang paling senior. “Kekuatan baru” atau “generasi baru” begitulah keempat serangkai bersama sejumlah pemuda lain menyebut dirinya dan seterusnya akan memimpin PKI pasca peristiwa Madiun 1948 sampai dihancurkannya tahun 1965. Ditambah Ir. Sakirman, Sudisman di sidang Mahmilub tahun 1967 mengatakan: Saya dengan mereka berempat telah berpanca-kawan, artinya, berlima telah bersama-sama membangun kembali PKI sejak tahun 1951. FDR sendiri mengandalkan kekuatannya pada kaum buruh yang tergabung dalam SOBSI. Sudisman sendiri berakar kuat di kaum buruh. Di samping itu FDR juga mengandalkan kekuatan bersenjata seperti Pesindo dan simpati dari sejumlah besar perwira kunci di dalam TNI (tentara resmi Pemerintah) dan TNI-Masyarakat.
1 September 1948 diumumkan susunan Politbiro CC PKI yang baru. Sudisman pun memimpin departemen Organisasi. Susunan lengkapnya sendiri sebagai berikut: Sekretariat Umum: Musso, Maruto Darusman, Tan Ling Djie, Ngadiman; Departemen Buruh: Harjono, Setiadjit, Djokosudjono, Abdul Madjib, Achmad Sumadi, Departemen Tani: A.Tjokronegoro, D.N.Aidit, Sutrisno; Departemen Pemuda: Wikana dan Suripno, Departemen Wanita: sementara dipegang oleh Sekretariat Umum; Departemen Pertahanan: Amir Sjarifoeddin, Departemen Agitasi dan Propaganda: Alimin, Lukman dan Sardjono; Departemen Organisasi: Sudisman; Departemen Luarnegeri: Suripno; Departemen Perwakilan: Njoto; Departemen Daerah-Daerah Pendudukan: dipegang oleh Sekretariat Umum; Departemen Kader-Kader Partai: sementara dipegang oleh Sekretariat Umum; Departemen Keuangan: Ruskak.
Ketika terjadi pembersihan yang dilakukan Kabinet Hatta pada semua tokoh-tokoh penting PKI akibat peristiwa Madiun 1948, 9 orang dari total 21 orang anggota CC PKI terbunuh. Sudisman, Aidit bersama Lukman dan Nyoto berhasil lolos dari pembunuhan.
Sudisman juga anggota Dewan Harian Angkatan 45. Tanggal 19 Desember 1953 bersama Chaerul Saleh, A.M. Hanafi, Harjoto Judoatmodjo, Bambang Suprapto, Pandu Kartawiguna, Moh. Imamsjafi'ie (Bang Piti) dan Amir Murtono, Sudisman pun terlibat dalam persiapan Musyawarah Besar Angkatan 45 (Mubes ke-II).
Karenanya tak dapat disangkal, Sudisman telah memberikan hidupnya dengan berani. Sudisman pun memberikan kepada rakyat gambaran bagaimana hidup yang bertanggung-jawab dan konsisten. No Tears for Disman.

31.12.07

Banyak harap yang saya bentangkan untuk menghadapi 2008 delapan jam nanti. Deret list yang panjang dan doa-doa memang selalu menemani saya untuk menjalankan ritual akhir tahun yang sebenarnya omong kosong ini. Kali ini, saya merangkum itu semua dengan harapan yang tak pernah lahir pada ritual-ritual saya sebelumnya: saya berharap hujan berhenti malam ini saja...

Ada alasan kenapa saya memilih pengharapan seperti itu. Saya ingin menikmati bulan yang timbul pada detik-detik akhir 2007. Purnama putih yang cantik juga ranum, dengan cangkok siluet yang membuatnya tampak gemuk dan sintal. Dan juga, tanpa desir-desir awan yang genit mendekatinya. Tiba-tiba saja asa ini muncul ketika siang tadi hujan lebat disertai angin kencang membasahi Yogyakarta. Saya kok merasa belakangan ini bulan seakan menjadi anak tiri langit. Diacuhkan kehadirannya. Kalaupun muncul, jatahnya untuk show off terselingi sesekali dengan pekat awan hitam pembawa hujan. Dengan hujan, semua keindahan purnama tak tertunai tuntas. Puncak keindahannya hanya dapat terasa bila langit bersih, terlebih bila banyak gugus bintang yang menggelayut disekelilingnya.

Alasan-alasan seperti paragraf diatas itulah yang menyebabkan saya menjadi sosok yang tiba-tiba saja romantik. Begitu hebat keinginan ini sampai tadi tanpa sadar terpanjat segelintir doa dari dalam hati saya,

"Tuhan, kau tahu semua keinginanku. Tak perlulah ku katakan semua dan berulang-ulang. Tapi, sekali ini kumohon. Enyahkanlah hujan hari ini. Hari ini saja. Selebihnya, kau yang tentukan. Aku hanya ingin melihat purnama. Purnama Mu, Tuhan."

Mungkin ada skenario lain yang Tuhan buat untuk saya di penghujung dan di awal tahun nanti dengan menggelar harapan seperti tadi. Entahlah, saya tak ingin bernegoisasi dengan itu semua. Biar nanti langit yang mengadili semua: hujan berhenti dan purnama muncul atau sebaliknya. Dan setelahnya, barulah saya dapat membentuk album tentang ini semua. Walau nanti ada kekenesan dalam membuka album tersebut, toh saya coba untuk tetap berpijak dan membuang jauh-jauh apa yang pernah Goenawan Mohamad sebut: amnesia sejarah.

Ya.. Hidup memang hanya menunda kekalahan. Dan tahu bahwa ada yang tak sempat di ucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah.

Terimakasih Chairil.

Terimakasih 2007.