27.12.07

For Being and Not to Being an Atheis

Sering saya meminggirkan khayal untuk menjadi seorang bapak nantinya. Berumah tangga. Mengurus bayi dan menjadi mertua. Apa iya sepanjang itu? Dan kini, tepatnya sore tadi khayal itu datang menyerbu. Saya tak bisa menyanggahnya kali ini: saya memang membutuhkan khayalan seperti itu. Setidaknya sekali-kali.

+ + + +

27 Desember 2007. Ini lusa setelah Yesus, Putra Allah mati. Suara-suara gemerlap dari katedral-katedral kapitalisme pun bersahutan. Santa Klaus terjerembab dengan rusa-rusanya. Tapi, tak satu pun orang meratapi bencana yang kian mesra dengan kita. Keakbaran Tuhan kini dipertaruhkan lewat pertarungan identitas. Sang Atheis muncul untuk kemudian berpendar.

Christopher Hitchens memberi kita kabar ini lewat bukunya yang terbit dengan judul God Is Not Great: Religion Poisons Everything. Ia senada dengan Marx: Agama itu racun, atau dalam kamus Marxisme, Agama Itu Candu. Dan ia tak berjalan sendiri. 2004 lalu juga terbit buku berjudul Letter to a Christian Nation oleh Sam Harris, buku yang memaktubkan semua serangannya terhadap Kristen. Atheis pelatah lainnya pun tak ingin ketinggalan. Richard Dawkins, seorang pakar biologi, menerbitkan The God Delusion, yang mengutip satu kalimat pengarang lain: ”Bila seseorang menderita waham, gejala itu akan disebut gila. Bila banyak orang menderita waham, gejala itu akan disebut agama.”

Belum pernah saya membaca bukunya. Saya hanya tahu dari mulut ke mulut, dan artikel-artikel yang terlampir di internet. Tapi, saya sudah terlanjur membayangkan isinya. Kenapa manusia bisa sampai tak ber-Tuhan? Apa yang salah dengan agama?

Ayat-ayat suci selalu mengajarkan kita tentang kebenaran. Tentang iblis yang wajib dimusnahkan. Sampai pada abad sekarang, di mana iman coba dihadirkan lewat rasio dan ketakutan, ayat-ayat tersebut tak ikut surut. Sakralitas yang terpendar tetap sama. Lagi-lagi, ada apa Tuhan?

Sang Atheis-Atheis itu serentak datang belakangan ini. Dengan mata bedil analisa yang siap membedah, mereka menyeruak, menghimpun kekuatan untuk mendistorsikan setiap agama. Dan mereka menang. Walau sementara, tapi mereka berhasil meludahi berlembar-lembar aya-ayat suci tersebut dalam kurun waktu yang terkira. Iman yang bersumber dari ketakutan ialah kebencian. Dan inilah yang jadi petuah agung setiap pelaku terorisme. Damai dunia runtuh karenanya. Tuding, bunuh, bakar, menjadi barang instan yang wajib dicerna karena sosok-sosok pengecut itu.

Tapi, khayal saya ternyata punya dimensi lain. Sepertinya dunia memang membutuhkan Para Atheis-Atheis tadi. Seakan mereka adalah nalar tujuan manusia untuk memupuskan rasa benci. Agama memang tak menawarkan sekantung emas yang terjun bebas dari langit. Atheis berkebalikan. Mereka mengenyahkan semua omong kosong Tuhan. Langit dikepal. Dan sumpah serapah agama menjadi ayatnya.

Agama adalah ”sebuah pengganda besar”, an enormous multiplier, ”kecurigaan dan kebencian antarpuak”. Dari sini, perlahan kesalahan demi kesalahan mengalir dari apologi yang terkenal itu: bukan agamanya yang salah, tapi manusianya. Menjadi: bukan manusianya yang salah, tapi agamanya. Dan permasalahan terhenti (sementara) sampai di titik tersebut: agama ternyata tak cukup canggih untuk memberikan penyangga bagi keserakahan manusia.

+ + + +

Saya tetap bersinggungan dengan khayal-khayal saya untuk menjadi seorang bapak. Menggurui kenyataan, bahwa manusia memang pantas untuk tak ber-Tuhan.

Semoga khayal saya berhenti sampai di sini.

2 comments:

Anonymous said...

Gadis yang gundah gulana...

Pada bagian ini memang sedikit membingungkan, yah terkesan berbelit-belit...tapi setelah membaca saya merasa mendapat suatu pandangan tentang kaum Atheis..sebenarnya saya belum tau,bahkan dibilang belum pernah melihat sendiri kaum-kaum seperti itu. Makasih yah bung, saya jadi dapat gambaran tentang Atheis.

Anonymous said...

Gadis yang gundah gulana...

Setelah saya membaca bagian ini, saya seakan mendapat pandangan tentang kaum Atheis. Sebenarnya saya sendiri belum tau benar seperti apa itu 'Atheis' yang konon tak berketuhanan. Terimakasih ya bung, karena setelah membaca saya jadi sedikit tau.