26.12.07

2007

Ada yang aneh pada tahun ini.

Malam tadi bulir-bulir hujan begitu syahdu memayungi. Gelap langit pun begitu lamat. Dan angin datang dengan dingin yang melata. Saya tak ingin membahas cuaca hari ini. Biarlah cuaca sendiri yang tentukan sejarahnya.

Tapi aneh, belakangan ini begitu banyak cuaca yang berkehendak hati. Angin seringkali menabuh badai. Pusara laut meninggi. Ozon-ozon kabur menelanjangi kosmos. Dan kita jadi terdakwa atas semuanya. Saya pun bergidik juga membaca ungkapan kecewa Gandhi, "Alam menyediakan semua bagi manusia, tapi tidak untuk keserakahannya." Tentunya Gandhi tidak sedang bernubuat. Atau mengomel layaknya orangtua. Pembusukan ekologi luar-dalam macam ini memang membuahkan dampak yang liar. Tuhan tak pernah memberikan kita tempat lapang untuk menampung segala daya kreatif kita dalam mengelola keserakahan masing-masing. Perang, superkapitalisme, genocide, mesiu-mesiu artileri, filsafat, reinasaince, dan segala tetek bengek kebengisan manusia menyebabkan: alam telah menjadi sosok liar yang penuh caci maki kemunafikkan.

George F. Kennan pernah bilang, "kita tahu dimana kita mulai, tapi kita tak pernah tahu dimana kita akan mengakhiri." Ya, 'awal' ialah bentuk semiotis jati diri manusia yang paling gamblang. Disana berjibaku presisi, hal ihwal ketabuan dan kesopanan.

Syahdan, kita semua menyadari, bahwa kesopanan akhirnya tercerabut, hilang dalam belantara kekuasaan yang begitu naif. Apa yang terjadi ialah, manusia berbondong-bondong untuk menyerakahi sesama. Dan bila Gandhi benar, maka tak ada lagi kata "menyerakahi sesama" dalam hidup ini. Semua berubah: "menyerakahi diri sendiri".

Cemas saya jadinya. Seringkali terbit pengharapan saya yang tak melulu mengacu pada Tuhan. Dalam 'ruang gelap' itulah seringkali pula saya menawarkan antiserum kepada diri sendiri. Mencoba untuk bebas barang sekali saja. Lahir pula pertanyaan naif: "mengapa hidup terbungkus aturan?". Antiserum itupun bekerja dengan sendirinya menjawab kenaifan itu. Saya tak mampu menyanggahnya.

Terkadang kepasrahan macam ini yang menyebabkan manusia dapat menggugah kegetirannya. Rosa Luxemburg memberi kita cermin, "jantungku berdetak dengan rasa riang yang tak terukur dan tak dapat dimengerti, seakan-akan aku tengah memasuki cahaya matahari yang cemerlang yang melintasi ladang bunga. Dan di dalam gelap aku tersenyum kepada hidup, seakan-akan akulah pemilik tuah yang memungkinkan aku mengubah semua yang keji dan tragis ke dalam ketenteraman dan bahagia". Kata-kata ini tersirat pada sepucuk surat yang ia kirim dari dalam penjara Breslau, Jerman, Desember 1917. Ia ditangkap karena mengobarkan semangat subversif ditengah gegap gempita genderang patriotisme kala itu: Sosialisme.

Apa yang menarik disana? Dengan surat itu Rosa melahirkan kekuatan ganjil. Dalam penjara yang dingin. Kebebasan yang terkunci. Bunyi hilir mudik sepatu lars tentara-tentara pengecut yang tak pernah bosan datang. Bau coro, suara kering batuk si penjaga bui, Rosa menggurat kesimpulan yang ganjil itu: "Aku tak menemukan sebab apa pun, dan hanya dapat menertawakan diriku sendiri." Entah kenapa ia percaya, seperti dikatakannya kemudian, bahwa kunci pembuka teka-teki ini "semata-mata hidup itu sendiri". Ditulisnya pula: "…malam yang gelap pekat ini lembut dan cantik seperti beledu, jika saja kita memandangnya secara demikian. Geretau kerikil lembab yang terinjak oleh langkah pelan dan berat si penjaga bui juga seperti sebuah nyanyi kecil yang manis kepada hidupbagi ia yang bertelinga untuk mendengar".

Ada kalanya hidup ini terpenuhi oleh anomali kesedihan.

Saya makin kedinginan saja disini. Hujan makin ganas menyerbu bumi. Berita pun mewartakan detik-detik kehancuran: alam menjadi sosok liar yang penuh dengan caci maki kemunafikkan. Sungguh, dapat tersenyum dalam kegetiran adalah nikmat yang tak tertandingkan. Rosa mengajarkan saya itu: Pelajari hidupmu. Itulah awal dan juga akhir dimana kita memulai sesuatu. Tapi yakinlah, pemberhentian itu tak pernah datang dengan percuma.

Memang ada yang aneh pada tahun ini.

No comments: