14.5.08

Moral Dalam Tinta Sebuah Pena

Begini, kalau tidak salah 3 minggu yang lalu kejadian ini tergelar. Waktu itu saya sedang presentasi makalah pada mata kuliah Agama dan Pendidikan. Makalah saya itu bertemakan tentang moral manusia dalam perspektif pendidikan. Terus terang, saya tidak ikut membuat makalah tersebut. Saya hanya numpang nyontong tok. Isi makalah itu pun saya baru tahu pada hari itu.

Kami (saya dan kelompk saya) sepakat bahwa mata pelajaran "moral" (PMP, PPKN, etc..) tidak diajarkan pada siswa maupun mahasiswa. Tentu saja itu nyeleneh. Kontroversi pun melekat pada makalah tersebut. Tapi kami bukan tidak punya argumen atau sekedar bacot tok. Asumsi kami ialah:

1. Sebuah nilai yang diberikan guru atau dosen telah bertransformasi dari sebuah "tanda" menjadi "penanda". Nilai akademik tidak lagi menjadi asumsi bisu perihal bodoh-pintarnya seseorang, tetapi telah menjadi alat penakar tentang kriteria baik-buruk seseorang dalam menjalani kehidupan. Dalam artian, begini: misal, ada seorang siswa kelas 1 SMA yang mendapatkan nilai merah pada mata pelajaran PPKN-nya, maka pernyataan yang lahir setelahnya ialah, "anak ini bodoh sekali, masa PPKN saja merah. Itu "tanda" bahwa si siswa tadi seorang yang bodoh, dengan asumsi bahwa PPKN adalah pelajaran yang terhitung mudah, akan tetapi dia tidak mampu mempelajarinya sehingga dia mendapat nilai merah di raport. Sekali lagi, itu "tanda". "Penanda"-nya ialah: "pasti dia siswa yang bejat, cabul, pornois, atheis, hingga mata pelajaran PPKN tidak mampu ia serap." Opini bodoh seperti itulah yang membuat seseorang (seakan) dapat mengukur bahwa segala nilai kehidupan dapat ditakar lewat nilai-nilai yang termaktub di raport. Bahkan moral sekalipun. Dan bagi kami, saya khususnya, itu ironis, bahkan paradoks. "Tanda" menjadi "Penanda". Betapa naifnya, saya kira, bila parameter sebuah nilai moral ditentukan oleh warna tinta sebuah pena.

2. Bagaimana moral si guru PPKN sendiri hingga dia berhak memberikan nilai merah pada raport si siswa tadi? Apakah hanya karena dia seorang khatib mingguan saat Jumatan? Apakah karena dia senantiasa berpeci-ria saat mengajar? Atau dia seorang yang sudah 10x naik haji? Bagi saya, itu nonsense. Kita sudah terlampau sering menyimak atau bahkan ikut andil dalam rutinitas penjualan agama, rutinitas kemunafikkan. Perilaku-perilaku amoril yang ditawarkan oleh orang2 yang membawa agama ke jenjang politik, negara, fasilitas perang, dan menjadikan agama sebagai janji irasional yang memuakkan.Dan hasilnya seperti ini: orang merasa yakin untuk tidak beragama. Tidak semua manusia beragama itu suci. Ini saya tekankan karena kita terlampau sering mengukur nilai moral melalui perspektif agama. Terlebih bila ada salah satu dari anda yang terkena sindrom fanatik sebuah agama. Seakan agama yang beda dengan anda ialah kafir, ialah tidak bermoral, pembunuh, setan, yang akan dilaknat Tuhan dan disekap dalam bara neraka tanpa memperhitungkan bahwa dulu dia pernah bermoral juga. Seakan orang yang kritis terhadap agama di cap atheis, tidak ber-Tuhan, komunis. Dalam hal tersebut, timbul pertanyaan: dimana keadilan? Itulah nilai merah moral sebenarnya. Ketika dimana moral dijadikan klaim sepihak dengan hanya menilik melalui 1 perspektif saja.

Sekolah telah salah disini. Sekolah, berikut para pekerja didalamnya telah mendoktrin secara tidak langsung kepada segenap siswa bahwa disanalah nilai-nilai kebenaran lahir, selain, tentu saja, rumah ibadah. Dan orang-orang dengan mainstream naif seperti itulah yang menjadi alasan kenapa banyak dari kita yang menyepelekan moral dan agama. Hemat saya, ada belenggu yang yang sangat besar untuk sekedar mempercayai begitu saja apa makna moral dalam buku-buku sekolah, dari KBBI, dari kata-kata yang keluar dari mulut seorang guru atau dosen, pendeta atau kiyai.

Tulisan ini bakal memuncakkan amarah yang sengit, pikir saya. Maka, bila itu benar, dari sinilah klaim-klaim timbul lewat pelbagai kesalahtafsiran sentimentil. Hujat menghujat senantiasa lahir karena adanya aturan maupun etika yang terlanggar tanpa mempedulikan bahwa sebuah teks tidak hanya didirikan oleh struktur, tapi juga mampu membuat struktur, sekaligus memperkaya tafisr pembaca. Kalau memang terjadi seperti itu, ironi yang menang. Dan kesimpulan pun saya tarik: bahwa bicara moral berarti membicarakan sebuah medan magnetik yang dapat membuat orang berbuat naif, dan lepas kendali. Lalu, lagi-lagi saja nilai merah pada mata pelajaran PPKN ialah salah satu hal yang diyakini sebagai penyebab kenapa banyak orang tidak bermoral dan masuk neraka.

No comments: